MEMALSUKAN NASAB ANAK KEPADA SELAIN AYAHNYA DAN PENGINGKARAN AYAH TERHADAP ANAKNYA SENDIRI

>> Minggu, 31 Mei 2009

Menurut syariat Islam, seorang muslim tidak dibenarkan menasabkan diri kepada selain ayahnya, atau menggolongkan diri kepada selain kaumnya.

Sebagian orang ada yang melakukan hal tersebut untuk tujuan materi, sehingga menulis nasab palsu di dalam surat-surat dan dokumen penting untuk memudahkan berbagai urusannya. Sebagian lain ada yang melakukannya karena dendam kepada sang ayah yang meninggalkan dirinya sejak kecil.

Semua perbuatan di atas hukumnya haram. Perbuatan tersebut melahirkan kerusakan besar di banyak persoalan. Misalnya dalam urusan mahram, nikah, warisan dan sebagainya.

Dalam sebuah hadits marfu’ dari bin Abi Bakrah radhiallahu ‘anhu disebutkan,
“Barangsiapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui, maka haram baginya surga.”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 8/45.)

Jadi, menurut ketentuan syari’at, haram hukumnya mempermainkan nasab atau memalsukannya. Sebagian laki-laki apabila terjadi pertengkaran dengan istrinya, menuduhnya berselingkuh dengan lelaki lain, sehingga ia tidak mengakui anaknya sendiri tanpa bukti apapun, padahal anak itu jelas-jelas lahir dari hubungan antara dia dan istrinya.
Sebagian isteri ada juga yang berkhianat. Misalnya, ia hamil dari hasil zina dengan lelaki lain, tetapi kemudian ia menasabkan anak tersebut kepada suaminya yang sah. Orang-orang sebagaimana disebutkan di atas, mendapat ancaman yang sangat berat dari Allah

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, saat turun ayat mula’anah (Mula’anah; yakni saling melaknat antara suami dengan isteri karena tuduhan zina.),
“Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah berlepas diri daripadanya dan tidak akan memasukkannya ke dalam Surga. Dan siapa dari laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anaknya yang sah) maka Allah akan menutup diri daripadanya dan akan mempermalukannya di hadapan para pemimpin orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.” (Hadits riwayat Abu Daud, 2/695, lihat Misykatul Mashabih, 3316.)

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MAKAN UANG RIBA

Dalam Kitab suci-Nya Al-Qur’an, Allah tidak pernah memaklumkan perang kepada seseorang kecuali kepada pemakan riba. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al Baqarah: 278-279)

Cukuplah ayat di atas menjadi petunjuk betapa keji dosa riba di sisi Allah Ta’ala.

Orang yang memperhatikan pengaruh riba dalam kehidupan individu hingga tingkat negara, niscaya akan mendapatkan kesimpulan, melakukan kegiatan riba mengakibatkan kerugian, kebangkrutan, kelesuan, kemandegan dan kelemahan. Baik karena lilitan utang yang tak terbayar atau berupa kepincangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, ambruknya perseroan dan usaha bisnis. Di samping, kegiatan riba menjadikan hasil keringat dan jerih payah kerja tiap hari hanya dikonsentrasikan untuk membayar bunga riba yang tak pernah ada akhirnya. Ini berarti menciptakan kesenjangan sosial, membangun gunung rupiah untuk satu kelompok masyarakat yang jumlahnya minoritas di satu sisi, dan di sisi lain menciptakan kemiskinan di tengah masyarakat –yang jumlahnya mayoritas- yang sudah merana dan papa. Barangkali inilah salah satu potret kezhaliman dari kegiatan riba sehingga Allah memaklumkan perang atasnya.


Semua pihak yang berperan dalam kegiatan riba, baik yang secara langsung terjun dalam kegiatan riba, perantara atau para pembantu kelancaran kegiatan riba adalah orang-orang yang dilaknat melalui lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Dari jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya” Ia berkata: “Mereka itu sama (saja).” (Hadits riwayat Muslim, 3/1219.)

Berdasarkan hadits di atas, maka setiap umat Islam tidak diperkenankan bekerja sebagai sekretaris, petugas pembukuan, penerima uang nasabah, nasabah, pengantar uang nasabah, satpam dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan riba.

Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan betapa buruk kegiatan riba tersebut. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Riba itu (memiliki) tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan daripadanya adalah seperti (dosa) seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri). Dan sejahat-jahat riba adalah kehormatan seorang muslim.” (Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al Mustadrak, 2/37; Shahihul Jami’, 3533.)

Juga dalam sabda beliau,
“Sedirham (uang) riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sedang dia mengetahui (uang itu hasil riba) lebih keras (siksanya) daripada tiga puluh enam wanita pezina.” (Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al Mustadrak, 2/37; Shahihul Jami’, 3533.)

Pengharaman riba berlaku umum, tidak dikhususkan -sebagaimana diduga oleh sebagian orang- hanya antara si kaya dengan si miskin. Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan dalam semua keadaan.

Betapa banyak kita saksikan bangkrutnya pedagang-pedagang besar dan orang-orang kaya karena melibatkan diri dalam kegiatan ribawi. Atau paling tidak , berkah uang riba tersebut –meski jumlahnya banyak- dihilangkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“(Uang) riba itu meski (pada awalnya) banyak, tetapi pada akhirnya ia akan (menjadi) sedikit.”( Hadits riwayat Al-Hakim, 2/37; Shahihul Jami’, 3542.)

Riba juga tidak dikhususkan pada jumlah peredaran uang sehingga dikatakan kalau dalam jumlah banyak, riba itu haram dan kalau sedikit tidak. Sedikit atau banyak, riba hukumnya haram. Orang yang memakan atau mengambil uang riba, kelak akan dibangkitkan dari dalam kuburnya pada hari Kiamat seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila.

Meskipun riba adalah suatu dosa yang sangat keji, tetapi Allah tetap menerima taubat orang yang hendak meninggalkan perbuatan tersebut. Langkah yang harus ditempuh oleh orang yang benar-benar taubat dari kegiatan riba adalah sebagaimana dituturkan firman Allah, “Dan jika bertaubat (dari kegiatan dan pemanfaatan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)

Dengan mengambil langkah tersebut, maka keadilan benar-benar terwujud. Setiap pribadi muslim harus menjauhkan diri dari dosa besar ini, memandangnya sebagai sesuatu yang buruk dan keji. Bahkan hingga orang-orang yang meletakkan uangnya di bank-bank konvensional (ribawi) karena terpaksa disebabkan takut hilang atau dicuri, hendaknya ia benar-benar merasakannya sebagai sesuatu yang sangat terpaksa. Yakni keterpaksaan itu sebanding dengan keterpaksaan orang yang makan bangkai atau lebih dari itu, dengan tetap memohon ampun kepada Allah dan berusaha untuk mencari gantinya, bila memungkinkan. Orang-orang itu tidak boleh meminta bunga deposito dari bank-bank tersebut. Jika bunga itu dimasukkan ke dalam rekeningnya, maka ia harus menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang dibolehkan, ( Seperti untuk membangun wc umum atau semisalnya (pent.).) sebagai bentuk penghindaran dari uang tersebut, tidak sebagai sedekah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia tidak boleh memanfaatkan uang riba tersebut dalam bentuk apapun. Tidak untuk makan, minum, pakaian, kendaraan, atau tempat tinggal. Juga tidak boleh untuk diberikan sebagai nafkah kepada isteri, anak, bapak atau ibu. Juga tidak boleh untuk membayar zakat, membayar pajak atau menjadikannya sarana untuk menolak kezhaliman yang menimpanya. Tetapi hendaknya ia membebaskan diri daripadanya, karena takut kepada siksaan Allah Ta’ala.

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MENYEMBUNYIKAN AIB BARANG

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di samping sebuah gundukan makanan (sejenis gandum). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut sehingga jari-jarinya basah. Beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Ia menjawab, “Kehujanan, wahai Rasulullah!” Rasulullah bersabda,
“Kenapa tidak engkau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka dia tidak termasuk golongan kami.”( Hadits riwayat Muslim, 1/99.)

Pada saat ini, banyak pedagang yang tidak takut kepada Allah dengan menyembunyikan aib barang. Misalnya dengan memberinya lem perekat, atau meletakkannya di bagian bawah kotak barang, atau menggunakan zat kimia atau semacamnya sehingga barang tersebut tampak bagus. Jika berupa barang-barang elektronik, mungkin dengan menyembunyikan cacat pada komponen tertentu, sehingga ketika barang itu dibawa pulang oleh pembeli, tak lama kemudian barang itu rusak. Sebagian penjual ada yang mengubah tanggal kadarluarsa penggunaan barang, atau menolak pembeli yang ingin meneliti barang atau mencobanya. Dan betapa banyak kita saksikan orang-orang yang menjual mobil atau peralatan lainnya, tidak mau menerangkan cacat barang yang hendak dijualnya. Semua ini hukumnya haram.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacat tersebut.” (Hadits riwayat Ibnu Majah,2/754; Shahihul Jami’, 6705.)

Sebagian orang mengira, menjual secara lelang dengan serta merta akan melepaskan dirinya dari tanggung jawab soal aib barang. Misalnya dengan mengatakan kepada pembeli, saya jual kepada anda setumpuk besi .. saya jual kepada anda setumpuk besi.

Tidak, justeru menjual barang seperti itu (dengan tanpa menerangkan cacat barang), juga yang sejenisnya adalah perdagangan yang tidak diberkahi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kedua orang yang sedang jual beli ada di dalam khiyar (pilihan) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menerangkan (aib barang) maka jual beli keduanya diberkahi. Tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (aib barang) maka dihapuslah berkah jual beli keduanya.”(Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari,4/328.)

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

BAI’UN NAJISY

Bai’un Najisy yaitu menaikkan tawaran harga barang, tetapi ia tidak bermaksud membelinya, untuk menipu orang lain yang ingin membeli sehingga ia mau menaikkan tawaran harga tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah kalian saling bersaing dalam penawaran barang (untuk tujuan menipu).”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari,10/484.)

Tak diragukan lagi, ini adalah salah satu bentuk penipuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tipu daya (makar) dan penipuan tempatnya di Neraka.”( Lihat Silsilatul Ahadits Ash Shahihah,1057.)

Banyak kita saksikan, para pemandu suatu acara pelelangan atau para penjaga stan dalam pameran mobil atau barang-barang lainnya memakan harta haram disebabkan perbuatan yang mereka lakukan. Di antaranya, mereka acap kali melakukan bai’un najisy, memperdaya pembeli. Atau bila mereka dalam posisi selaku pembeli, mereka menipu para penjual dan hanya mau membeli dengan harga serendah-rendahnya. Berbeda jika mereka selaku penjual barang atau menjualkan barang orang lain, mereka akan mengelabui para pembeli dan menaikan harga setinggi-tingginya. Mereka adalah para penipu hamba Allah dan para pembawa bahaya.

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

BERJUALAN SETELAH ADZAN KEDUA PADA HARI JUM’AT

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(Al-Jumu’ah: 9)

Sebagian pedagang, ada yang masih berjualan di toko-toko mereka, meskipun adzan kedua sudah berkumandang. Bahkan di antara mereka ada yang berjualan di dekat atau di halaman masjid. Para pembelinya dalam hal ini, juga ikut berdosa, meski mereka hanya membeli sebuah siwak atau tissue. Jual beli pada waktu tersebut, menurut pendapat yang kuat, hukumnya tidak sah.


Sebagian pemilik restoran, perusahaan roti, atau pabrik, ada yang masih tetap memaksa para karyawannya bekerja pada waktu shalat Jum’at. Orang-orang tersebut, meski secara lahiriyah bertambah keuntungannya, tetapi secara hakikat perdagangan mereka merugi. Adapun para karyawan, hendaknya mereka melaksanakan tugas dalam batas sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak ada keta’atan kepada manusia dalam berbuat maksiat kepada Allah.”( Hadits riwayat Imam Ahmad, I/129, Ahmad Syakir berkata, isnad hadits ini shahih, hadits no.1065. (Hadits tersebut terdapat dalam Shahihain, Ibnu Baz).)

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

JUDI (DENGAN SEGALA BENTUK DAN RAGAMNYA)

Allah berfirman, “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah : 90)

Di antara tradisi orang-orang Jahiliyah dahulu adalah berjudi. Adapun bentuk judi yang paling terkenal itu adalah sepuluh orang berserikat membeli seekor unta dengan saham yang sama. Kemudian dilakukan undian. Dari situ, tujuh orang dari mereka mendapat bagian yang berbeda-beda menurut tradisi mereka, dan tiga orang lainnya tidak mendapatkan apa-apa alias kalah.

Adapun di zaman kita saat ini, maka bentuk perjudian sudah beraneka ragam, diantaranya

• a. Apa yang dikenal dengan yanasib (undian) dalam berbagai bentuk. Yang paling sederhana di antaranya adalah dengan membeli nomor-nomor yang telah disediakan, kemudian nomor-nomor itu diundi. Pemenang pertama mendapat hadiah yang amat menggiurkan. Lalu, pemenang kedua, ketiga dan demikian seterusnya dengan jumlah hadiah yang berbeda-beda. Ini semua adalah haram, meski mereka berdalih untuk kepentingan sosial.

• b. Membeli suatu barang yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dirahasiakan atau memberinya kupon ketika membeli barang, lalu kupon-kupon itu diundi untuk menentukan pemenangnya.

• c. Termasuk bentuk perjudian di zaman kita saat ini adalah asuransi jiwa, kendaraan, barang-barang, kebakaran atau asuransi secara umum, asuransi kerusakan, dan bentuk-bentuk asuransi lainnya. Bahkan sebagian artis penyanyi mengasuransikan suara mereka. Ini semua hukumnya haram. ( Tentang hukum asuransi dan solusinya menurut Islam. Lihat majalah Al Buhuts Al-Islamiyah; edisi 17, 19, 20.Terbitan Ar Ri’asatul Ammah Li Idarotil Buhutsil Ilmiyah.)

Demikianlah, dan semua bentuk taruhan masuk ke dalam kategori judi. Pada saat ini bahkan telah ada klub khusus judi (kasino) yang di dalamnya ada alat judi khusus yang disebut rolet khusus untuk permainan dosa besar tersebut.
Juga termasuk judi, taruhan yang diadakan saat berlangsung pertandingan sepak bola, tinju atau semacamnya. Demikian pula dengan bentuk-bentuk permainan yang ada di beberapa toko mainan dan pusat hiburan, sebagian besar mengandung unsur judi, seperti apa yang mereka namakan lippers.

Adapun berbagai pertandingan yang kita kenal sekarang, maka ada tiga macam:

• Pertama, untuk maksud syiar Islam, maka hal ini di bolehkan, baik dengan menggunakan hadiah atau tidak. Seperti pertandingan pacuan kuda dan memanah. Termasuk dalam kategori ini -menurut pendapat yang kuat– berbagai macam perlombaan dalam ilmu agama, seperti menghafal Al-Qur’an.

• Kedua, perlombaan dalam sesuatu yang hukumnya mubah, seperti pertandingan sepak bola dan lomba lari, dengan cacatan, tidak melanggar hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan shalat, membuka aurat dan sebagainya. Semua hal ini hukumnya ja’iz (boleh) dengan syarat tanpa menggunakan hadiah.

• Ketiga, perlombaan dalam sesuatu yang diharamkan atau sarana kepada perbuatan yang diharamkan, seperti lomba ratu kecantikan atau tinju. Juga masuk ke dalam kategori ini menyelenggarakan sabung ayam, adu kambing atau yang semacamnya (Ini merupakan ringkasan diskusi bersama Syaikh Abdul Muhsin Az-Zamil semoga Allah menjaganya, kalau tidak salah beliau telah menulis makalah khusus tentang masalah ini.)

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MENCURI

Allah Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al- Ma’idah: 38)

Di antara kejahatan pencurian yang paling besar adalah mencuri barang-barang milik para hujjaj dan mereka yang sedang umrah di Baitullah Makkah. Pencuri semacam itu tidak lagi memperhitungkan ketentuan-ketentuan Allah bahwa ia sedang berada di bumi yang paling mulia di sekeliling Ka’bah. Dalam kisah tentang shalat Kusuf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dan sungguh telah diperlihatkan api Neraka, yaitu saat kalian melihatku mundur karena aku takut hangus (oleh jilatannya), dan sehingga aku melihat di dalamnya pemilik mihjan(Mihjan adalah tongkat berkeluk kepalanya.) menyeret ususnya dalam Neraka. Dahulunya, ia mencuri (barang milik) orang yang haji. Jika ketahuan, ia berkilah: “Barang itu terpaut di mihjanku.” Tetapi jika orang itu lengah dari barangnya, maka si pencuri membawanya (pergi).”( Hadits riwayat Muslim, 904.)

Termasuk pencurian terbesar adalah mencuri dari harta milik umum. Sebagian orang yang melakukannya berdalih, kami mencuri sebagaimana yang dilakukan orang lain. Mereka tidak memahami bahwa pencurian itu berarti mencuri dari harta segenap umat Islam. Sebab harta milik umum berarti milik segenap umat Islam. Sedangkan apa yang dilakukan oleh orang lain yang tidak takut kepada Allah, bukanlah alasan sehingga mereka dibenarkan mencuri.

Sebagian orang mencuri harta milik orang-orang kafir dengan menjadikan kekafiran mereka sebagai dalih. Ini tidak benar. Orang kafir yang hartanya boleh diambil adalah mereka yang memerangi umat Islam. Padahal, tidak semua perusahaan milik orang-orang kafir, atau individu dari mereka masuk kategori tersebut.

Modus pencurian amat beragam. Di antaranya mencopet, mengulurkan tangan ke saku orang lain secara cepat dan mengambil isinya. Sebagian masuk ke rumah orang lain dengan berkedok sebagai tamu, lalu menjarah barang-barang di dalam rumah. Sebagian lain mencuri koper atau tas tamunya. Ada pula yang masuk ke toko atau supermarket lalu menguntil barang yang kemudian ia selipkan di balik baju, seperti yang dilakukan sebagian wanita.

Sebagian orang meremehkan pencurian sesuatu yang jumlahnya sedikit atau tak berharga. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur sehingga dipotong tangannya dan (pencuri) yang mencuri seutas tali sehingga dipotong tangannya.”( Hadits riwayat Imam Ahmad,2/387; Shahihul Jami’, 5069.)

Setiap orang yang mencuri sesuatu, betapapun kecil nilainya harus mengembalikan kepada pemiliknya, setelah sebelumnya ia bertaubat kepada Allah. Pengembalian itu baik secara terang-terangan atau rahasia, secara pribadi atau dengan perantara. Adapun jika tak mampu usaha maksimal untuk mengembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya, maka hendaklah ia menyedekahkan barang tersebut dengan niat pahalanya untuk pemilik barang tersebut.

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MEMBERI ATAU MENERIMA SUAP

Memberi uang suap kepada qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau memberlakukan kebatilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidakadilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan di bumi. Allah berfirman,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).

Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah disebutkan,
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum.”( Hadits riwayat Imam Ahmad, 2/387; Shahihul Jami’, 5069.)

Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut.

Saat ini, suap-menyuap sudah menjadi kebiasaan umum. Bagi sebagian pegawai, suap menjadi (income) pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap, banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus. Berbagai urusan bisnis atau mu’amalah lainnya, hampir semua dimulai dan diakhiri dengan tindakan suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi. Soal suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan oleh mereka yang tidak berhak.

Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar. Adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat atau diakhirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya selesai lebih dahulu.

Karena soal suap-menyuap, uang yang mestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk ke dalam kantong orang lain. Disebabkan oleh hal ini, juga hal lain maka tak heran jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap-menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Semoga laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap.”( Hadits riwayat Ibnu Majah , 2313; Shahihul Jami’, 5114.)


(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MERAMPAS TANAH MILIK ORANG LAIN

Jika telah hilang rasa takut kepada Allah, maka kekuatan dan kelihaian menjadi bencana bagi pemiliknya. Ia akan menggunakan anugerah itu untuk berbuat zhalim, misalnya dengan menguasai harta orang lain. Termasuk di dalamnya merampas tanah milik orang lain. Ancaman buat orang yang melakukan hal tersebut sungguh amat keras sekali.

Dalam hadits mar’fu dari Abdullah bin Umar disebutkan:
“Barangsiapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia akan ditenggelamkan dengannya pada hari Kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis bumi.”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Al-Fath, 5/103.)

Ya’la bin Murrah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa saja yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain), niscaya Allah membebaninya menggali tanah tersebut (dalam riwayat Ath-Thabrani: menghadirkannya) hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengalungkannya (di lehernya) pada hari Kiamat sampai seluruh manusia diadili.” ( Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 22/270; Shahihul Jami’, 2719.)

Termasuk di dalamnya, mengubah batas dan patok-patok tanah, sehingga tanahnya menjadi luas dengan mengurangi tanah milik tetangganya. Mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
“Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah.”( Hadits riwayat Muslim, Syarh An-Nawawi, 13/141.)

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

MENERIMA HADIAH SETELAH MEMBERI SYAFA’AT [MENOLONG DENGAN MENGGUNAKAN PANGKAT DAN KEDUDUKAN

Pangkat dan kedudukan di tengah manusia, jika disyukuri merupakan salah satu nikmat Allah atas hamba-Nya. Di antara cara bersyukur atas nikmat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan.”( Hadits riwayat Muslim,4/1726.)

Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman darinya atau mendatangkan manfaat untuknya, jika niatnya ikhlas tanpa diikuti perbuatan haram atau merugikan hak orang lain, ia akan mendapat pahala di sisi Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala.”( Hadits riwayat Abu Daud , 5132; Hadits ini terdapat dalam Shahihain, Fathul Bari, 10/450, Kitab Adab, Bab Ta’awanul Mukminin Ba’dhuhum Ba’dha.)

Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantara yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah,
“Barangsiapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu) kemudian (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangkan suatu pintu yang besar di antara pintu-pintu riba.” ( Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/261; Ta’awanul Mukminin; Shahihul Jami’, 6292.)

Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pengangkatan kepegawaian seseorang atau dalam memindah-tugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit dan hal lain yang semacamnya.

Menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram, berdasarkan hadits Abu Umamah sebagaimana telah disebutkan di muka. Bahkan secara umum hadits itu mencakup pada penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka ( Diambil dari keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan. ). Cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah kelak pada hari Kiamat.

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al-Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ia ditolongnya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al-Hasan. Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata, “Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.”( Al-Adab Asy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 2/176. )

Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi. Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa-menyewa, sedang yang kedua hukumya haram.

(Dari kitab "Muharramat Istahana Bihan Naas" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid / alsofwah)

Read more...

Politik dalam Perspektif Kaum Sufi

>> Jumat, 29 Mei 2009

Perspketif kaum sufi tentang politik akan menjadi jelas manakala dasar dari perspektifnya itu diketahui. Dasarnya itu adalah pandangan kaum sufi tentang dunia ini atau hakekat kehidupan di dunia ini. Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana tercantum dalan Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 6: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya beribadah/menyembah-Ku” (Depag,1986). Menurut Syekh Abdul Qodir Al-Jailani (1996:17) yang dimaksud dengan beribadah diatas adalah ma’rifat. Ma’rifat berarti mengenal/mengetahui. Jadi maksud diciptakannya manusia itu atau hakikat kehidupan manusia itu adalah untuk mengenal Allah sebenar-benarnya.

Oleh karena itu, segala perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya (termasuk politik) harus diorientasikan untuk itu. Karena ma’rifat itu merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini, maka itu artinya bagi kaum sufi ma’rifat itu merupakan pula kebahagiaan atau “kepentingan” yang tertinggi yang harus diperjuangkan melalui berbagai aspek kehidupannya. Artinya bahwa kesejahteraan, kemakmuran bersama, kedamaian, kekuasaan, keadilan, itu semua harus ditujukan untuk mewujudkan kema’rifatan kepada Allah SWT. Hal ini menunjukan bahwa kaum sufi itu tidak anti urusan dunia, melainkan tidak terikat hatinya oleh urusan dunia, atau dengan kata lain urusan dunia itu hanyalah dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi/mulia, yaitu mengenal Alloh dengan sebenar-benarnya (ma’rifatulloh). Jadi seorang sufi itu tidak dikendalikan oleh urusan dunia, melainkan mengendalikan urusan dunia. Hal ini sebagaimana do’a yang sering mereka panjatkan yaitu yang artinya:” Ya Allah jadikanlah dunia itu ada dalam genggaman kami, tetapi janganlah dunia itu ada dalam hati kami” (Pradja,1995:8).

Sebagaimana telah disinggung diawal, bahwa untuk ma’rifat kepada Allah maka manusia itu harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran hati. Disini terlihat bahwa untuk mencapai ma’rifat diperlukan proses yang membutuhkan ruang dan waktu. Dalam konteks inilah politik itu dibicarakan oleh kaum sufi, yaitu untuk mewujudkan kondisi kehidupan manusia yang memungkinkan terwujudnya proses mencapai ma’rifat tadi (kepentingan). Bahkan politik itu sendiri merupakan bagian dari proses dimaksud. Karena merupakan bagian dari proses mencapai ma’rifat, maka politik kaum sufi itu tidak bisa dilepaskan dari peranan “Guru Mursyid”. Hal ini karena dalam ajaran tasawuf diyakini bahwa seseorang tidak bisa menjadi “guru mursyid” jika tidak memiliki strategi politik yang melebihi strategi politiknya para ahli politik dan politisi kelas dunia sekalipun (Maslul,1997). Hal ini tidak berarti bahwa murid tarekat tidak bisa berkreasi, melakukan inovasi, kritis, mandiri dan sebagainya. Melainkan semuanya itu tidak boleh lepas dari komunikasi atau konsultasi dengan Syekh Mursyidnya itu. Sekali lagi karena hal itu merupakan proses ma’rifat yang tidak bisa tidak harus dibimbing oleh Syekh Mursyid.

Dalam agama Islam, Al-Qur’an dan Hadis adalah pedoman hidup yang harus dipatuhi. Oleh karena itu dalam berpolitikpun umat Islam (termasuk kaum sufi) harus tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana diketahui dalam mengimplementasikan Al-Qur’an dan Hadis pada konteks politik, umat Islam terbagi dua, yaitu kelompok normatif dan kelompok substantif. Kelompok normatif sangat mementingkan “bungkus” sehingga kata-kata “Islam” itu harus tercantum tekstual/gamblang dan jelas dalam konstitusi sebuah negara ini. Bahkan menurut mereka, krisis multidimensi yang kini melanda Indonesia itupun salah satunya disebabkan karena konstitusi yang digunakan Republik Indonesia bukan konstitusi “buatan” Allah, melainkan hanya buatan manusia yang serba terbatas sehingga tidak mampu mengakomodir secara penuh kepentingan manusia didalamnya (Ba’asyir,2007).

Sedangkan kelompok substantif lebih mementingkan “isi”, sehingga mereka dapat lebih mentolelir jika konstitusi tidak “dibungkus” dengan kata-kata “Islam” asalkan isi atau substansi dari konstitusi dimaksud benar-benar bersifat “Islami”. Nampaknya dalam hal ini kaum sufi termasuk kelompok substantif, karena mereka lebih sering menekankan isi/substansi manakala mereka menafsirkan Al-Qur’an (Alba,1997).

Mengenai konsep tentang negara kaum sufi termasuk kelompok sunnisme yang memandang bahwa mendirikan negara itu wajib hukumnya berdasarkan syara’. Hal ini karena adanya prinsip dalam Islam bahwa jika untuk melaksanakan sebuah kewajiban diperlukan sesuatu, maka sesuatu itupun menjadi wajib. Oleh karena itu mentaati negara yang didirikan oleh umat Islam itu juga menjadi wajib (Pradja,1991:139). Hal ini karena dalam naungan negara itulah justru kewajiban atau “kepentingan” kaum sufi itu akan lebih mudah untuk diwujudkan. Terhadap para pimpinan negara seperti ini, kaum sufi mendukungnya. Bahkan mereka selalu mendo’akan agar pimpinan negara tersebut memiliki kekuatan untuk mengayomi semua warga negaranya dan mendo’akan agar negara dan agama itu berjaya. Hal ini salah satunya didasarkan kepada do’a Nabi Muhammad yang artinya:”Ya Allah barang siapa memerintah umatku, lalu ia kasih sayang kepada mereka, maka kasihanilah dia. Dan barang siapa yang memerintah umatku lalu mereka menyulitkan mereka, maka berilah mereka kesulitan” (Maslul,2004:52).

Untuk mewujudkan negara itu sekali lagi kaum sufi tetap berpegang teguh kepada Al-qur’an dan Hadis. Artinya dalam praktek berpolitik kaum sufi tetap memegang teguh aturan Syari’at Islam. Seperti tadi telah disinggung, bahwa kekuasaan itu memang penting untuk mewujudkan “kepentingan” kaum sufi. Tetapi perlu diingat bagi kaum sufi kebenaran itu tidak boleh dicapai melalui ketidakbenaran. Artinya, kekuasaan itu hanya boleh dicapai dengan melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan Syari’at Islam (islami).

Dalam kehidupan sosial politik, kaum sufi senantiasa konsisten bahwa hubungan antara pribadi dan masyarakat dengan negara harus berada dalam suatu sinergik dalam rangka melaksanakan amanah Allah. Artinya, hubungan pribadi dan masyarakat harus mengacu kepada peneguhan keseimbangan hak dan kewajiban yang utuh dan dinamis.

Begitu juga hubungan masyarakat dengan negara adalah hubungan kemitraan dan sinergi, bukan berseberangan. Meskipun masyarakat merupakan subsistem dari negara, namun negara tidak boleh mendominasi masyarakat, karena hal tersebut bertentangan dengan sunatullah. Dengan demikian nampaknya kaum sufi sangat memperhatikan terhadap setiap pemimpin politik. Utamanya pemimpin politik yang mendukung dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk seluas-luasnya melaksanakan agama (mengamalkan ajaran tasawuf). Mereka senantiasa apresiatif terhadap pemimpin yang demikian.

Lebih khusus lagi dalam memaknai hubungan negara dan masyarakat, kaum sufi menyikapinya lebih pada menempatkan pemberdayaan masyarakat ketimbang dominasi negara. Otonomi masyarakat yang mengalir pada penempaan dan pengembangan otonomi pribadi, memiliki makna tersendiri bagi terwujudnya upaya meningkatkan kondisi spiritual yang memiliki dampak peningkatan hidmah agar kehidupan masyarakat makin mulia, manusiawi, dan berkeadaban. Struktur, kultur, sistem, dan mekanisme kenegaraan terniscayakan makin mendekatkan posisi dan peran manusia pada pelaksanaan fungsi kekhilafahannya di bumi.

Dalam kehidupan bernegara, kaum sufi sangat menghormati kepemimpinan sampai pada tingkat terendahnya. Penghormatan tersebut lahir dari penjiwaan konsep istiqomah atas keberadaan pemimpin yang dipilih dari, dan untuk warga sebagai wakil individu. Ajaran Tasawuf mengingatkan bahwa kesetiaan atas pilihan sendiri merupakan bagian penting dalam hidup, paling tidak kaidah ini disebabkan oleh sistematika dalam pengambilan keputusan penentuan pimpinan, yang pada tataran teknis operasional dijumpai lima konsep perbuatan; yaitu istifadah, mengambil manfaat dari pengalaman, istikharah, memohon pertolongan pilihan kepada Allah, istiqomah, konsisten, istighasah, munajat secara khusus, dan istisyarah, musyawarah. Karena memilih pemimpin yang berlandaskan langkah-langkah inilah, kaum sufi memiliki loyalitas yang tinggi kepada pimpinan yang dipilihnya, kecuali pimpinan itu mendorong kepada maksiat kepada Allah.

Dalam hal mempersepsi ulama, tokoh masyarakat, serta pejabat pemerintah, kaum sufi lebih menekankan kepada pentingnya peran ulama, namun demikian ketiganya diniscayakan agar senantiasa bersama dan dalam kebersamaan sebagai kemitraan yang saling mengokohkan. Mereka hormat kepada ketiga komponen pemuka itu, karena selama ketiganya itu memiliki integritas pribadi serta berperilaku saleh dalam agama. Mereka sadar bahwa ulama memperoleh titipan ilmu dari Allah untuk disampaikan kepada yang membutuhkannya, dan tokoh masyarakat termasuk pejabat pemerintah memiliki amanat dan titipan Allah agar mengayomi rakyatnya. Kaum sufi menghormati ketiganya agar mereka mendapat informasi yang benar sehingga mereka bisa berpartisipasi secara penuh dan sungguh-sunguh terhadap setiap kegiatan kemasyarakatan. Namun demikin, kaum sufi tetap mengembangkan otonomi partisipasi kemasyarakatannya yang memberi kontribusi signifikan demi suksesnya proyek pencerdasan dan penyejahteraan masyarakat.

Kaum sufi juga senantiasa bersikap positif dan terbuka dalam hidup keseharian. Sikap ini tercermin dalam perilaku yang senantiasa hangat dalam menerima siapapun. Berpikir posisif dalam menghadapi situasi apa dan bagaimanapun. Prinsip hidupnya dalam kepolitikan senantiasa dilandasi oleh komitmen: jika tidak bisa ikut rembug menyelesaikan masalah, paling tidak ia tidak menjadi bagian dari masalah tersebut atau pembuat masalah baru. Mereka mempersepsi hidup senang ataupun susah, berhasil ataupun tidak, bahkan terhadap sanjungan pujian dan makian, serta cinta dan benci disikapi sama (Al-Kalabdzi,1985). Karena bagi setiap mu’min setiap apapun yang terjadi dan menimpa dirinya, buruk ataupun baik, sesungguhnya menjadi inspirasi ilahiyah serta memberikan motivasi agar meningkatkan derajat hidupnya agar selaras dengan dinamika ruang dan waktu.

Kaum sufi sangat mengutamakan kejujuran, kebajikan, dan kebenaran dalam mengisi setiap aspek kehidupan. Ajaran tasawuf mendorong kaum sufi untuk berperilaku positif, baik dalam akhlak maupun moral pada tataran personal, sosial dan interaksional termasuk dalam berpolitik. Sehingga kaum sufi cenderung malu dan merasa berdosa untuk berbuat segala macam penyelewengan, apalagi berkaitan dengan perbuatan dzolim dan batil. Oleh karena itu kaum sufi senantiasa mengutamakan sikap rendah hati, merunduk dan ikhlas dalam hidup bersama dan dalam kebersamaan. Karenanya mereka senantiasa menentang segala bentuk kekerasan politik, anarkhisme, tidak sopan, tidak tunduk kepada hukum dan ketentuan yang berlaku. Kaum sufi senantiasa berusaha mewujudkan keharmonisan, sehingga tidak terjadi bentrokan yang dapat mengarah kepada perpecahan. Menurut mereka ibadah yang vertikal ilahiyah bisa terhambat apabila hubungan yang horizontal dengan sesama manusia tidak harmonis. Jadi hubungan dengan Tuhannya akan sia-sia, bahkan sesungguhnya muara dari peran kekhalifahan ilahiyah di bumi adalah terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran, dan peradaban yang makin tinggi (Salamah,2001).

Untuk mewujudkan semua itu kiranya diperlukan “kekuasaan”. Dan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan yang kemudian digunakan untuk kepentingan “kebenaran” itu merupakan bagian dari da’wah, dimana da’wah itu sendiri harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kepribadian kaum sufi sebagaimana telah diuraikan diatas.

Dalam Islam (termasuk dalam tasawuf tentunya) dikenal adanya konsep da’wah. Hal ini merujuk kepada Al-Qur’an surat An-Nahli ayat:125 yang artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana (hikmah),dan dengan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ” (Depag,1996). Dari ayat itu para ulama Islam berpendapat bahwa da’wah itu merupakan kewajiban bagi muslim, sehingga setiap muslim harus berda’wah sesuai dengan kemampuanya masing-masing. Dan da’wah itu harus dilakukan dengan cara yang islami sufistis.

Kata da’wah itu sendiri secara etimologis berasal dari kata kerja (Fi’il) dalam Bahasa Arab yaitu “Da’a” yang artinya memanggil, mengundang, menyeru dan mengajak (Anshari,1993;10). Sedangkan secara terminologis da’wah itu berarti segala usaha yang ditujukan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami. Dengan demikian jika politik itu kita artikan sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan yang akan digunakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang islami, maka aktivitas politik itupun termasuk dalam da’wah. Oleh karena merupakan da’wah, maka berpolitik itu merupakan bagian dari kewajiban muslim, yang harus dilaksanakan secara serius sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal ini merupakan kewajiban yang sangat masuk akal, karena jika kekuasaan itu jatuh ketangan orang-orang yang tidak berkomitmen untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami maka sangat mungkin kaum muslim termasuk kaum sufi akan tidak mudah untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka, yaitu melaksanakan semua perintah Alloh.

Read more...

PENGEMBANGAN KURIKULUM SEBAGAI SARANA

>> Kamis, 28 Mei 2009

Abstrak :
Nowadays, Education in Indonesia has faced complexity problems especially the quality of education which is very nasty. If we see another country likes Vietnam which just past from war, we know that our quality of education has been defeated by Vietnam because they are able to reform their education in any field.
Actually, the government of Indonesia who has responsibility in central of education has done some steps to overcome these problem, however, those steps cann’t be implemented yet as good as possible. Till, education in Indonesia still have not better yet or nasty in our country.
The development of curriculum becomes one of the important things which are needed in education. Especially Islamic education is caused by the complexity element of society in Indonesia. Besides, the education in Indonesia still can’t find appropriate ways.
Quality assurance as a step to develop the quality of education especially in Islamic education, which also need the intelligent organizer and implementer of education to develop curriculum in that institution.

Pendahuluan
Di negara kita saat ini, masalah peningkatan mutu pendidikan Islam selalu menjadi pembahasan yang menarik. Sinyalemen yang ada, 1) pendidikan Islam yang kuantitasnya begitu besar dan tersebar di seluruh penjuru negeri telah begitu kuat mengakar di dalam hati masyarakat Indonesia yang memang mayoritas muslim, serta 2) telah terjadi kemerosotan mutu pendidikan, baik di tingkat dasar, menengah, maupun tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitik beratkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya. dan pembelajaran yang focus orientasinya bersifat subject matter oriented dalam arti memahami dan menghafal pelajaran sesuai dengan kurikulum saja.
Selain itu dunia pendidikan juga dihadapkan pada berbagai masalah pelik yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan timbulnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagi tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis dan bahkan suatu keharusan. Hal yang demikian dapat dimengerti mengingat duinia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.
Sebuah keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu sesungguhnya sangat diharapkan oleh berbagai pihak, terutama umat Islam. Bahkan hal itu terasa sebagai kebutuhan yang sangat mendesak terutama bagi kalangan muslim kelas menengah ke atas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena social yang sangat menarik ini mestinya dijadikan tema sentral kalangan pengelola pendidikan Islam dalam melakukan pembaruandan pengembangannya.
Rendahnya mutu pendidikan Islam dapat ditimbulkan oleh beberapa sebab. Antara lain, rendahnya mutu kurikulum (kurikulum yang tidak dibarukan), format isi silabus perkuliahan yang tidak bermutu, administrasi kelas tidak berjalan, tidak memiliki pedoman pembimbingan. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan kaji ulang dan revisi kurikulum secara periodik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Oleh karena itu Kurikulum sebagai salah satu elemen dasar pendidikan juga memegang peranan penting dan vital dalam ikut menyukseskan tujuan pendidikan nasional. Sehingga pengembangan kurikulum di dalam pendidikan Islam mutlak diperlukan. Hal ini tidak lepas dari banyaknya materi pelajaran yang dibebankan kepada lembaga pendidikan Islam. Sehingga dalam penyelenggaraannya dituntut adanya kreatifitas dari pengelola dan guru di lembaga pendidikan Islam.

Pembahasan
Usaha Selama Ini
Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Berbagai upaya telah dilakukan secara “terencana” sejak sepuluh tahun yang lalu. Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di lndonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa solusi yang selama ini dijalankan mungkin saja belum menyentuh akar permasalahan.
Satu hal yang menjadi bahan pengamatan penulis bahwa setiap masukan ilmiah yang disampaikan para ahli selalu memunculkan konsep yang diadopsi atau diadaptasi dari negara-negara yang berhasil menerapkannya, antara lain Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura. Padahal, situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep yang di impor itu terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Sejak tahun 1980-an proyek itu telah dilaksanakan pemerintah, menyusul pula proyek baru yang siap diluncurkan. Di antaranya proyek Pengembangan Kurikulum, Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Definisi Kurikulum
Kurikulum menurut Nasution dalam Muhaimin dapat didefinisikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Sedangkan menurut al Syaibani juga dalam Muhaimin disebutkan bahwa definisi kurikulum lebih terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya.
Definisi-definisi di atas dirasa sudah agak kadaluwarsa, karena perkembangan definisi dan implementasi kurikulum meningkat dan menjadi lebih kompleks, seperti definisi yang telah digariskan oleh UU Sisdiknas No. 20/2003 yang dikembangkan kea rah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Namun, dari definisi di atas kiranya cukup tepat apabila Raka Joni membagi dan mendefinisikan tataran kurikulum menjadi lebih detail menjadi 1) kurikulum ideal, 2) kurikulum formal, 3) kurikulum instruksional, 4) kurikulum operasional, dan 5) kurikulum eksperiensial.
Kurikulum ideal mengandung segala sesuatu yang dianggap penting sehingga dianggap perlu dimasukkan ke dalam kunikulum oleh nyaris setiap orang. Cakupannya jelas akan sangat luas, kandungan isinya sangat tidak sistematis, dan bebannya menjadi sangat besar sehingga tidak mungkin diwujudkan. Namun, kurikulum ideal tetap ada fungsinya, yaitu sebagai pencerminan aspirasi konstituen yang perlu diperhatikan, disaring, ditata serta dikemas dalam sosok yang tepat oleh semua pihak yang terlibat dalam urusan pendidikan formal, mulai dari pengembang kurikulum dan pengelola pendidikan sampai dengan guru sebagai fasilitator pembelajaran yang merupakan ujung tombak pelaksana di lapangan.
Kurikulum formal adalah kurikulum ymig-akhirnya- di-sanction oleh yang berkewenangan, dan kemudian ditampilkan sebagai dokumen resmi kurikulum, semisal Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Di negara kita, kunikulum formal itu terdiri dari tujuan, materi yang merupakan bahagian terbesar, serta pedoman umum pelaksanaan.
Kurikulum instruksional adalah tejemahan dari kurikulum formal menjadi seperangkat skenario pembelajaran dan jam pertemuan ke jam pertemuan oleh guru yang bertugas mengimplementasikan suatu kurikulum formal dalam sesuatu konteks kelembagaan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum instruksional adalah kurikulum yang mencerminkan niat para guru sebagai implementor kurikulum.
Kurikulum operasional adalah perwujudan objektif dari niat kurikulum instruksional dalam bentuk interaksi pembelajaran - apa yang dikerjakan oleh guru, apa yang dikerjakan oleh siswa, dan bagaimana interaksi di antara keduanya. Keterwujudan kurikulum operasional dapat diverifikasi oleh pengamat ahli sehingga kesesuaiannya dengan hajat yang tertampilkan sebagal tujuan kurikulum formal itu dapat dinilai secara objektif.
Sedangkan kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan/atau sekolah. Oleh karena itu maka kurikulum eksperiensiallah yang akan membuahkan dampak dalam bentuk perubahan cara berpikir dan cara bertindak para siswa yang bersangkutan, yaitu ketika kurikulum instruksional tersebut diimplementasikan oleh guru sebagai fasilitator langsung pembelajaran (direct mediator of student learning) dalam pelaksanaan tugasnya dari hari ke hari.

Definisi Pendidikan Islam
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, maupun dalam studi pendidikan, sebutan “pendidikan Islam” umumnya dipahami hanya sebatas sebagai “ciri khas”, jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Definisi pendidikan Islam yang lebih lengkap telah diungkapkan oleh Zarqawi Soejoeti, yakni:
Pertama, Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita mengejewantahkan nilai-nilai Islam, baik tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan.
Kedua, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu yang diperlakukan sebagaimana ilmu yang lain.
Ketiga, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian tersebut di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan.
Dari pengertian yang diberikan Zarqawi itu kiranya bisa dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut masalah ciri khas, tetapi lebih mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Tujuan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi.

Peran Pengembangan Kurikulum terhadap Quality Assurance
Pengembangan kurikulum harus dilaksanakan secara continue dan sistematis, seperti tawaran chartnya Hasan dalam pengembangan kurikulum di bawah ini:
Pengembangan Kurikulum








PERENCANAAN IMPLEMENTASI EVALUASI
Dalam chart di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus dimulai dari perencanaan kurikulum. Sedangkan penyusunan perencanaan itu sendiri terdiri dari ide-ide yang dituangkan dan kemudian dikembangkan menjadi program.
Adapun ide-ide kurikulum bisa berasal dari 1) visi, 2) kebutuhan stakeholder (siswa, masyarakat, pengguna lulusan, dan kebutuhan studi lanjut), 3) hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan iptek dan zaman, 4) pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya, 5) kecenderungan era globalisasi.
Dari kelima ide tersebut kemudian diracik sedemikian rupa dan kemudian dikembangkan menjadi program atau kurikulum sebagai dokumen. Dan yang tertuang dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam proses pelaksanaannya, yang dapat berupa satuan acara pembelajaran (SAP), proses pembelajaran, serta evaluasi pembelajara, sehingga diketahui tingkat efisiensi dan efektifitasnya. Dan dari evaluasi ini diperoleh feed back (umpan balik) untuk digunakan dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya.
Dengan demikian dalam perencaan, pelaksanaan, serta evaluasi kurikulum diperlukan adanya evaluasi secara keseluruhan yang terjadi secara terus menerus (continue) sehingga diharapkan nantinya timbul continues improvement dalam kurikulum tersebut. Dan sebagai tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas pendidikan Islam terutamanya.
Model pengembangan kurikulum seperti di atas, akan sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya pelaksaan jaminan mutu (quality assurance) yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah, dan memang diinginkan oleh para stakeholdernya. Contoh konkrit quality assurance yang ditetapkan oleh SMU Al Hikmah sebagai berikut :
1. Dapat diterima di perguruan tinggi terbaik di Indonesia
2. Sehat: tercegah dari penggunaan obat terlarang, pergaulan bebas, dan perkelahian antar pelajar
3. Mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
4. Menguasai IT dengan baik, untuk menunjang kegiatan belajar dan dalam kehidupan sehari-hari
5. Berakhlaqul karimah dan memiliki semangat untuk berdakwah dengan 10 ciri berikut ini :
a. Salimul aqidah
b. Shalihul ibadah
c. Matinul khuluq
d. Qodirun alal kasbi
e. Mutsaqqatul fikr
f. Mujahidun linafsih
g. Munadzdzom fi syu’unih
h. Harisun alal waqtih
i. Naafi’un lighairih
6. Memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah social yang bersifat praktis yang terjadi di masyarakat sekitar.
Dalam rangka menafestasikan jaminan mutu di atas, maka peran kurikulum sangat menentukan keberhasilannya. Mulai dari point pertama sampai dengan point terakhir (ke 6) semuanya tidak terlepas dari peran pengembangan kurikulum terlepas dari tataran kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional, maupun eksperiencial seperti pendapat Raka Joni sebelumnya.

Pengembangan Kurikulum dan Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam
Dalam rangka umum mutu (kualitas) mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible.
Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional.
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Peningkatan kualitas pendidikan Islam bukanlah pekerjaan sederhana karena peningkatan tersebut memerlukan adanya perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan berfungsi membantu memfokuskan pada sasaran, pengalokasian, dan kontinuitas. Dan sebagai suatu proses berfikir untuk menentukan hal yang akan dicapai, bagaimana pencapaiannya, siapa yang mengerjakan, dan kapan dilaksanakan, maka perencanaan juga memerlukan adanya kejelasan terhadap masa depan yang akan dicapai atau dijanjikan. Oleh karena itu, dalam perencanaan ada semboyan bahwa, “luck the role of good planning, and good planning is the result of information well apllied’.
Selain perencaan yang baik dan tepat, menurut Abdullah Fadjar, dalam A. Malik Fajar bahwa pengembangan pendidikan Islam yang lebih arif juga perlu didukung oleh kegiatan “riset dan evaluasi”. Namun pada kenyataannya sampai saat ini lembaga pendidikan Islam yang dengan konsisten melakukan riset dan evaluasi masih jarang sekali, dan hampir tidak pernah muncul ke permukaan.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
• pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
• bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
• pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Setidaknya, dalam kegiatan pengembangan kurikulum dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam perlu diarahkan pada empat hal yang, yakni:
1. Pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan paham atau pola keagamaan hasil internalisasi tertentu kepada anak didik. Melainkan harus mampu memberikan fasilitas yang memungkinkan anak didik menjadi produsen ilmu dan membentuk pemahaman agama dalam dirinya yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus lebih dilihat sebagai proses yang di dalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan-pesan dasar yang diberikan agama. Dengan pandangan yang demikian, maka guru harus mempunyai kemampuan untuk memahami dan menyelami pikiran siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Seorang yang mendidik bukanlah guru yang memamerkan pengetahuan ketika ia berada di kelas, bukan pula sebagai pengabar isi buku teks atau pengangkut materi GBPP, ataupun sebagai operator kurikulum formal yang hanya bekerja berdasarkan juklak dan juknis. Tetapi seorang guru yang mendidik adalah guru yang mampu membangkitkan kratifitas dan imajinasi pada siswa untuk menghasilkan dan menemukan kebenaran.
2. Pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunaan andaian-andaian model yang diidealisir yang sering membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebih-lebihan. Hal itu, dalam segala manifestasinya, seperti kerinduan kita agar anak dapat mengulangi pengalaman dan pengetahuan yang pernah kita peroleh. Umpamanya saja, kita menuntut anak kita agar mampu mengaji Al Qur’an sama fasihnya dengan kita sendiri di pesantren dulu, sedangkan anak kita dititipkan di sekolah umum. Nantinya kita akan terpaku pada mitos yang akhirnya membuat kita lebih bermimpi dari pada berpikir objektif dalam menyusun program pendidikan agama demi masa depan anak didik.
3. Bahan-bahan pengajaran hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric di sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat parsial dan segmentatif. Hal ini penting dalam kaitannya dengan penumbuhan sikap kepedulian social, di mana naak harus berlatih untuk menggunakan persepsi normative terhadap realitas. Oleh karena itu anak harus selalu diajak melakukan refleksi teologis dalam rangka menanggapi setiap bentuk tantangan hidup yang dihadapinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya anak-anak tidak akan hampa iman dan tidak memiliki ketergantungan terhadap pengaruh kaum professional agama dalam hal ini para produsen norma dan spiritual dalam dirinya secara berlebih-lebihan. Dengan cara demikian agama yang dianutnya bukan hanya sekedar menjadi pengetahuan, melainkan lebih merupakan sikap dan amalan yang manfaat dan dapat dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.
4. Perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses belajar mengajar. Sedangkan anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau substansi agama.

Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengembangan kurikulum mempunyai peranan yang sangat vital dalam peningkatan kualitas pendidikan Islam.
2. Implementasi quality assurance tidak bisa lepas juga dari peranan kepiawaian pengelola, dan pelaksana kurikulum dalam mengembangkan kurikulumnya.
3. Arah pengembangan kurikulum pendidikan Islam dalam meningkatkan kualiatas pendidikan hendaknya:
a. Menjadikan peserta didik sebagai produsen ilmu
b. Lebih bersifat kongkrit, atau bukan berupa andai-andai yang impossible.
c. Bahan-bahan pengajaran terintegrasi dengan problem empiric di sekitarnya
d. Dikembangkan wawasan emansipatoris

Daftar Rujukan

Agung, I. 1992. Pengelolaan Sekolah dan Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan. Suara Guru (4).
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan. (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Bogor: Kencana.
Fadhil Al Djamali. 1992. Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta: Golden Terayon Press. Cet. II.
Hamid Hasan, Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung; Universitas Pendidikan Indonesia. 2002.
Malik Fajar, Holistika Pemikian Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moeslim Abdurrahman. 1997. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. III.
Muchtar Buchari, 1994. Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press. Cat. I.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI diSekolah, Madrasah, dan PT. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2005.
www.schooldevelopm.com Umaedi, Direktur Pendidikan Menengan dan Umum Depdikbud, 1999

Read more...

STRATEGI MENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Pendahuluan
Peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan perguruan tinggi sudah sangat dirasakan perlu, termasuk untuk menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern yang berorientasi pada mutu/kualitas. Bagi para pemilik dan pengelola Perguruan Tinggi, sistem manajemen mutu pada hakekatnya berinti pada perbaikan terus menerus untuk memperkuat dan mengambangkan mutu tersebut. Krisis ekonomi dan moneter serta pasar bebas telah menuntut kita untuk lebih cermat dalam menentukan wawasan kedepan yang didasarkan atas pertimbangan potensi, kendala, peluang dan ancaman yang menuntut kita lebih efektif dan efisien dalam bertindak
.
Kita ketahui bahwa Era Globalisasi adalah era persaingan mutu atau kualitas. Maka perguruan tinggi di era globalisasi harus berbasis pada mutu, bagaimana perguruan tinggi dalam kegiatan jasa pendidikan maupun pengembangan Sumber Daya manusia yang memiliki keunggulan-keunggulan. Para mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi sesungguhnya mengharapkan hasil dari komunikasi dan motivasi ganda yaitu ilmu pengetahuan, gelar, ketrampilan, pengalaman, keyakinan dan perilaku luhur serta dalam arti seimbang. Semuanya itu diperlukan sebagai persiapan memasuki dunia kerja dan atau persiapan membuka lapangan kerja dengan mengharapkan kehidupan yang baik dan kesejahteraan lahir.

Perguruan tinggi sebagai wadah untuk menggodog kader-kader pemimpin Bangsa memerlukan suatu cara pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan instansi non pendidikan, karena dalam wadah ini berkumpul orang-orang yang berilmu dan bernalar. Tanggung jawab pendidikan tidak saja beban pemerintah namun oleh seluruh lapisan masyarakat. Masalah penting yang harus diperhatikan adalah bagaiman manajemen perguruan tinggi diatur dalam suatu administrasi yang rapi, efisien dan transparan.

Peraturan-peraturan akademik dan administrasi mempunyai tata kerja membentuk suatu sistem yang harus ditaati dengan desiplin dan dedikasi semua pihak. Dengan sistim seperti ini maka ada jaminan penuh bahwa perahu akan melaju kearah yang sudah ditentukan kalaupun nakhodanya berganti ditengah perjalanan. Prasarana dan sarana akademik harus diciptakan sebagai landasan berpijak, disamping landasan mutu perguruan tinggi ini terutama sangat ditentukan oleh peran tenaga-tenaga pengajar yang berkualitas dan berbobot.
Proses Pendidikan di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan wahana tenaga ahli yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada pembangunan. Sebagai usaha sistematis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan empat kebijakan pokok dalam bidang pendidikan yaitu pemerataan dan kesempatan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi pendidikan. Khusus untuk perguruan tinggi akan lebih diutamakan membahas mengenai relevansi pendidikan dengan pembangunan yang dalam langkah pelaksanaannya dikenal dengan keterkaitan dan kesepadanan (link and match).

Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan pembangunan tersebut, pendidikan akan dapat lebih mencapai hasil sesuai dengan misi dan fungsinya. Upaya menciptakan keterkaitan dan kesepadanan tersebut mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi kegiatan-kegiatan pendidikan (proses belajar mengajar), penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam Dharma Pendidikan, perlu dievaluasi relevansi program dan jurusan yang ada dalam kebutuhan pembangunan, dalam arti apakah sumber daya manusia yang dihasilkan dapat diserap oleh kegiatan perekonomian dan pembangunan.

Pertama kita mengenal adanya Raw-Input dan Instrumental Input . Raw Input merupakan peserta didik sedangkan instrumental input terdiri dari : Gedung, Perpustakaan, Pedoman Akademik, Dosen, Kurikulum, Metode dan lain-lain. Kedua Raw Input dan Instrumental Input masuk dalam proses, yang ini akan memakan waktu delapan (8) semester. Ketiga, Output (hasil didik) yang sesuai dengan kriteria institusi dan siap untuk masuk kedalam persaingan sumber daya manusia. Dosen merupakan instrumen yang sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena dari dosenlah perpindahan ilmu dilakukan kepada peserta didik.

Perguruan tinggi yang memiliki tenaga-tenaga dosen yang berkualitas akan banyak diminati oleh masyarakat. Karena itu program untuk meningkatkan kualitas para Dosen adalah merupakan kewajiban yang tidak ditawar-tawar lagi pada saat ini dan dimasa mendatang. Perguruan tinggi yang tidak mau mengikuti arusnya perkembangan perubahan sekarang dan dimasa datang akan ditinggalkan oleh masyarakat dan lambat atau cepat akan mengalami kemunduran, yang akhirnya akan mengalami keruntuhan.

Disisi lain, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebgai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. Kurikulum dibagi dalam kurikulum inti dan krikulum lokal. Kurikulum inti adalah bagian dari kurikulum pendidikan tinggi yang berlaku secara nasional untuk setiap program studi, yang memuat tujuan pendidikan, isi pengetahuan, dan kemampuan minimal yang harus dicapai peserta didik, dalam penyelesaian suatu program studi. Disisi lain kurikulum lokal adalah bagian dari kurikulum pendidikan tinggi yang berkenaan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan.
Peningkatan Mutu Pendidikan
Agar Pendidikan dan pengajaran dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka Program Studi yang tersedia seyogyanya harus sesuai dengan minat masyarakat, selaras dengan tuntutan jaman, calon Mahasiswanya haruslah baik, tenaga pengajarnya berbobot, proses pendidikannya harus dapat berjalan dengan baik, serta sarana dan prasarananya harus memadai. Maka dari itu ada beberapa hal yang harus kita perhatikan sehubungan dengan strategi peningkatan mutu pendidikan di perguruan tinggi antara lain :

1. Mahasiswa yang Di didik
Untuk dapat menghasilkan produk yang baik, kita harus menanam bibit-bibit yang baik. Untuk mendapatkan bibit yang baik perlu seleksi yang baik pula. Kendalanya yang dihadapi di Universitas Warmadewa dalam mendapatkan calon mahasiswa baru yang mempunyai kualitas baik adalah terbentur dengan beberapa faktor misalnya dengan Motto Universitas Biaya Terjangkau mutu Terjamin yang harus tetap dilaksanakan, Sejarah pendirian Universitas Warmadewa adalah untuk menampung anak-anak pegawai negeri yang tidak bisa diterima di PTN, serta target penerimaan mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Dengan demikian sistem seleksi yang belum mempertimbangkan segi mutu calon mahasiswa yang sesungguhnya, karena standar kelulusan untuk bisa diterima di suatu fakultas belum begitu ketat dilakukan.

Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, dari calon mahasiswa harus betul-betul dapat dijaring dengan seleksi yang ketat supaya calon mahasiswa yang diterima di Universitas Warmadewa mempunyai standar kualitas yang baik karena bagaimanapun Mahasiswa tidak lepas dari tanggung jawab terhadap perkembangan sebuah perguruan tinggi. Disamping itu tingkat kedisiplinan mahasiswa perlu ditingkatkan, karena melalui disiplin yang tinggi ini agar mahasiswa benar-benar dapat mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan ilmu pengetahuan yang diterimanya.
Untuk menambah mutu serta kemampuan mahasiswa semasih dia mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi maka perlu ditambah dengan kemampuan berorganisasi, sebab didalam organisasi ini akan mampu mengembangkan pribadi bagi mahasiswa dan menambah pengalaman guna menunjang ilmu pengetahuan yang diterimanya.

2. Dosen Sebagai Pendidik Dan Pengajar
Dosen harus mempunyai kualifikasi yang diperlukan bagi penyampain ilmunya kepada Mahasiswa. Dengan tenaga dosen yang berkompeten dan berkualitas akan memudahkan penyampaian ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga apa yang disampaikan kepada mahasiswa dapat diterima dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan mahasiswa dengan kajian bidang ilmu yang dipilihnya. Disamping itu dosen juga harus mempunyai disiplin yang tinggi juga mempunyai rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang diberikan kepada mahasiswa. Bagaimana mungkin dapat meningkatkan mutu pendidikan apabila dosen hanya memberikan kuliah 3 - 4 kali pertemuan dalam setiap semesternya. Jadi dosen harus mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak didiknya agar ia tidak hanya memberikan kuliah secara asal-asalan.

Tanpa ada upaya untuk meningkatkan kualitas dosen yang ada sekarang, perubahan-perubahan mendasar pada kurikulum dan metode belajar mengajar akan timpang dan bisa jadi kurang efektif peningkatan kualitas dosen perlu dimulai dari sistem perekrut, peningkatan kemampuan dosen, sistem penilaian terhadap kemampuan dan kinerja dosen, serta sistem peningkatan karirnya. Tentu saja upaya peningkatan kualitas dosen perlu disertai dengan peningkatan kesejahteraannya.

Kemampuan dosen terdiri dari kemampuan dalam ilmu pengetahuan yang akan diajarkan dan tehnik dalam memberikan pengajaran. Hal ini berarti peningkatan kemampuan dosen perlu dilakukan dari dua aspek yaitu peningkatan ilmu pengetahuan di bidangnya, dan kemampuan atau ketrampilan dalam mengajar.

Disamping itu juga dapat dilihat dari klasifikasi pendidikan (S2/S3) dan jenjang jabatan akademiknya. pengelolaan mutu Dosen dapat dilakukan melalui peningkatan pendidikan ke strata yang lebih tinggi di Universitas Universitas Negeri maupun swasta terbaik di dalam maupun diluar negeri secara bertahap dan berencana. Disamping itu juga dapat dilakukan melalui meningkatkan kegiatan-kegiatan seminar (lokal, regional dan nasional), simposium, diskusi, serta penataran-penataran dan lokakarya, baik di fakultas dan universitas sendiri, maupun di perguruan tinggi terkemuka di tanah air. Serta meningkatkan kegiatan kerjasama dengan dinas-dinas, dunia usaha dan dunia industri dalam kaitannya dengan program keterkaitan dan kesepadanan sebagai penambah wawasan dan cara berpikir serta ketrampilan bagi dosen.
3. Sarana dan Prasarana
Untuk menghasilkan kualitas tenaga lulusan perguruan tinggi maka harus bekerja sama dengan pihak dunia usaha sebagai penyerap dan pemakai tenaga lulusan perguruan tinggi Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan unsur mahasiswa, alumni dan perusahaan-perusahaan yang mewakili dunia usaha, untuk memberikan masukan yang berguna untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang diharapkan mampu berkiprah di era globalisasi. Maka perlu perbaikan terhadap kurikulum dengan menambahkan program-program baru seperti : penguasaan bahasa internasional, teknologi komputer, program magang dan etika.

Laboratorium sebagai ajang latih dan praktek mahasiswa perlu dilengkapi dengan fasilitas yang cukup serta program pelatihannya harus disesuaikan dengan perkembangan dunia industri dan jasa. Sedangkan perpustakaan sebagai jantungnya perguruan tinggi perlu diperkaya dan dilengkapi dengan berbagai jurnal dan literatrur yang terbaru.
Demikian pula gedung atau ruang perkuliahan serta perlengkapannya sebagai penunjang proses pendidikan sangat perlu mendapat perhatian dari segi kebersihan, keindahan serta kenyamanannya.
4. Penutup
Dari Uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut :
• Universitas perlu mendorong upaya peningkatan kualifikasi tenaga dosen dengan pendidikan lanjutan atau kursus dengan fasilitas yang memadai agar kualitas sumberdaya dapat ditingkatkan sehingga secara otomatis akan mendorong peningkatan mutu pendididkan di universitas.
• Tuntutan terhadap mutu pendidikan yang terus ditingkatkan sebagai upaya untuk menciptakan output yang berkualitas dan siap terjun kepasar kerja serta untuk memenuhi standar atau ketentuan akreditasi.
• Output yang dihasilkan harus berdasarkan suatu proses yang matang dan didukung oleh input yang baik pula.
• Faktor eskternal dan internal yang mendukung proses penyelenggaraan dan sumber daya perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan harus mendapat perhatian.

Read more...

Hati Menjadi Lembut

>> Senin, 25 Mei 2009

Pertanyaan : Syeikh yang mulia, saya merasakan hati saya keras. sehingga saking kerasnya apabila salah seorang kerabatku wafat saya tidak menangis, saya tidak meneteskan air mata kecuali setelah berusaha keras. apakah kerasnya hatiku seperti ini menyebabkan sholatku tidak diterima? begitu juga dengan puasaku dan amalan-amalan lain. dan apakah ini karena kurangnya keimananku ya syeikh yang mulia. Apakah jika saya bersedekah kepada orang-orang fakir bisa melembutkan hatiku?
Jawaban : Benar, sebagian manusia memiliki hati yang keras tidak ada kelembutan di dalamnya. maka engkau mendapatkannya tidak khusyu’ sekalipun ditimpa musibah yang sangat besar - kita memohon keselamatan kepada Allah - . ya .. hatinya keras bagai membatu atau lebih keras dari batu.

di antara penyebab lembutnya hati membaca Al-Qur’anul Karim. sesungguhnya ia melembutkan hati apabila seseorang membacanya dengan tadaddur dan perenungan berdasarkan firman Allah Ta’ala,

artinya, “Kalau kami turunkan Al-Qur’an ini kepada gunung niscaya engkau melihatnya khusyu’ dan terbelah karena takut kepada Allah”.

di antara perkara yang dapat melembutkan hati; membaca Siroh Nabawiyyah semoga sholawat yang paling utama dan salam yang paling sempurna senantiasa berlimpah untuk pemiliknya.

membaca siroh nabawiyyah memberikan bekas dan pengaruh yang menakjubkan pada hati. karena seorang itu menjadi ingat dan merasa seolah-olah ia bersama para sahabat sehingga hatinya melembut.

di antara perkara yang dapat melembutkan hati adalah mengasihi anak-anak dan bersikap lembut kepada mereka. sesungguhnya itu melembutkan hati dan memberikan pengaruh yang ajaib pada hati. oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

“Kasihilah yang ada di bumi, niscaya yang dilangit mengasihimu”.

di antara perkara yang dapat melembutkan hati, mendengarkan mau’izhoh (nasehat) dan bait-bait syair yang menghidupkan hati. oleh karena itu engkau dapatkan seseorang apabila mendengarkan bait-bait syair hatinya tersentuh dan matanya menangis.

dan di antara perkara yang dapat melembutkan hati menghadirkan hati dalam sholat. sesungguhnya itu dapat melembutkan hati. kita memohon kepada Allah supaya Dia melembutkan hati kita untuk mengingat-Nya dan melindungi kita dari kerasnya hati”.

( Fataawaa Nuurun ‘Alad Darbi Syeikh Al-’Allaamah Muhamad bin Sholeh Al-’Utsaimin, kaset no. 373)

Read more...

Kepada Tetangga Masjid Dan Yang Mendengarkan Adzan

Ada karyawan sebuah perusahaan yang karena malas tidak masuk kerja kecuali seminggu sekali. Ketika direktur memintanya agar datang tiap hari ia menolak dan mengatakan akan melakukan tugas-tugas kantornya di rumah! Hukuman apa yang pantas bagi karyawan tersebut? Bukankah ia pantas di-PHK?

Selanjutnya bagaimana halnya dengan seorang muslim yang tidak mau memenuhi panggilan Allah ke masjid untuk shalat berjamaah kecuali sehari dalam seminggu (hari Jum’at), atau sebulan dalam setahun (saat Ramadhan) dan ia ingin melakukan kewajiban yang agung itu di rumahnya. Pantaskah ia mendapat rahmat Allah?

Allah Lebih Agung dari Segala Sesuatu

Meninggalkan shalat berjamaah adalah pertanda lemahnya iman dan kosongnya hati dari mengagungkan Allah. Betapa tidak, pantaskah seorang muslim yang imannya benar, ketika mendengar seruan sehari lima kali ‘hayya alash shalah’ dia tidak mendatanginya?

Lebih dari itu, dia juga mendengar seruan ‘Allahu Akbar’ (Allah Lebih Agung), tetapi baginya permainan lebih besar dan penting, menyaksikan film dan pertandingan lebih penting, jual beli lebih penting dan kesibukan-kesibukan dunia lainnya lebih penting. Na’udzu billah.

Masjid adalah tempat yang paling suci di muka bumi, dan mensyi’arkannya dengan shalat serta dzikrullah adalah di antara sebab yang mendatangkan rizki, sesuatu yang dicari oleh para pemuja materi tetapi tidak mereka sadari.(An-Nur: 36-38).

Meski Sekali, Pasti Masuk Masjid

Setiap muslim, baik dalam keadaan hidup atau mati, pasti pernah masuk masjid. Karena itu sungguh lebih baik Anda masuk masjid dalam keadaan hidup, sebelum datangnya masa di mana Anda digotong di atas pundak manusia untuk dishalatkan. Sebab ketika itu, tidak lagi berguna harta, perdagangan, pangkat atau jabatan, juga tidak ada artinya berbagai kesibukan duniawi yang justeru dulu menghalangimu menjawab seruan Allah.

Masjid Tempat Penempaan Para Mujahid

Masjid adalah madrasah dan kampus tempat meng gembleng dan mendidik kaum muslimin. Daripadanyalah keluar para mujahid (pejuang) dan pahlawan. Dan tidaklah umat Islam memiliki kekuatan, kemuliaan dan wibawa kecuali jika mereka kembali lagi ke masjid sebagaimana yang telah dilakukan oleh para salafunash shalih (orang-orang shalih terdahulu). Dari masjid lah mereka menyebarkan petunjuk, kebenaran dan cahaya ke segenap tempat.

Seorang filosof Prancis berkata, ‘Setiap kali aku melihat shaf-shaf umat Islam dalam shalat, aku sedih kenapa aku tidak menjadi seorang muslim.’
Jika kita menginginkan generasi mujahid , telahkah kita menjaga shalat berjamaah?

Belajar dari Kisah Nyata

Ia seorang kuli angkut di pasar. Suatu hari, ia mengangkut barang, tiba-tiba dinding sebuah toko ambruk dan tepat menimpa punggungnya. Ia akhirnya lumpuh total, tidak mampu bergerak apalagi berjalan. Bahkan ia tidak mampu buang air kecil dan besar, sehingga untuk itu ia harus berjuang selama tiga jam dengan bantuan peralatan dokter. Ketika salah seorang yang menjenguk bertanya tentang harapannya sekarang, ia berkata, ‘Saya berharap bisa shalat berjamaah’. Subhanallah!

Dalil Wajibnya Shalat Berjamaah

Dalil dari Al-Qur’an

· Firman Allah: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam: 42-43).

Ka’b Al-Ahbar berkata, ‘Demi Allah, ayat di atas tidak diturunkan kecuali bagi orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah’.

· Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43).

Ayat di atas adalah dalil tentang wajibnya shalat ber jamaah dan keharusan menyertai orang-orang yang shalat. Seandai nya yang dimaksud sekedar mendirikan shalat (bukan berjamaah) tentu cukup dengan awal firmanNya: “Dan dirikanlah shalat.”

· Allah berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat mu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu…” (An-Nisa’: 102).

Seandainya Allah tidak mewajibkan shalat berjamaah, maka para pasukan yang terancam diserang musuh tentu lebih utama untuk diperkenankan meninggalkan shalat berjamaah. Tetapi kenyataannya, berdasarkan ayat di atas Allah tetap mewajibkan mereka shalat berjamaah.

Dalil dari As-Sunnah

· Dari Abu Hurairah radiallahu anhu disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku hendak memerintahkan shalat sehingga ia didirikan, kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki agar menjadi imam shalat berjamaah, kemudian aku pergi bersama orang-orang yang membawa seikat kayu bakar kepada kaum yang tidak menegakkan shalat ber jamaah sehingga aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Al-Bukhari - Muslim).

Dan sungguh, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam untuk membakar rumah kecuali karena ditinggalkannya suatu kewajiban.

· Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Seorang laki-laki buta berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan orang yang menuntunku ke masjid, apakah aku memiliki rukhshah (keringanan) untuk shalat di rumahku?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?’ Ia menjawab, ‘ya’. Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah’.”

Jika orang buta yang tidak mendapatkan orang yang menuntunnya wajib shalat berjamaah, apalagi orang yang sehat, bisa melihat dan tak memiliki udzur?

· Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mendengar seruan (adzan untuk) shalat dan tidak ada suatu udzur pun yang menghalanginya (tetapi ia tetap tidak memenuhinya), niscaya shalat yang ia lakukan tidak diterima. Ditanya kan, ‘Apakah udzurnya itu wahai Rasulullah?… Beliau bersabda, ‘Rasa takut dan sakit’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya, Shahihul Jami’, 6176).

Dalil dari Perkataan Para Sahabat

· Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih- nya, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: “Sungguh kalian telah menyaksikan bahwa tidaklah meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik yang nyata kemunafikannya. Dan dulu, sungguh pernah ada laki-laki yang dibawa (ke masjid) dengan dipapah dua orang dan didirikan di dalam barisan (shaf shalat).”

· Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: “Penuhnya telinga anak Adam dengan timah yang mendidih lebih baik baginya daripada ia mendengar seruan (adzan) tetapi ia tidak memenuhinya.”

· Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berkata: “Jika kami kehilangan seorang laki-laki dalam shalat Shubuh dan Isya’ maka kami bersangka buruk kepadanya.” (Shahihut Targhib wat Tarhib , 411)

Perkataan Para Ulama Tentang Meninggalkan Shalat Berjamaah

· Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Saya tidak meng anggap ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat berjamaah bagi orang yang mampu melakukannya tanpa ada udzur . (Al-Umm, I/154). Beliau juga berkata: “Hendaknya anak-anak diperintahkan datang ke masjid dan berjamaah agar terbiasa.” (Al-Iqna’, I/151).

· Imam Nawawi, ulama dari kalangan madzhab Syafi’i berkata: “Shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, tetapi ia tidak merupakan syarat shahnya shalat.” (Al-Majmu’ , IV/75). Pendapat shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain juga datang dari ulama Syafi’i muta’akhkhirin yang lain, seperti Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hibban. ( Fathul Bari, II/126)

· Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya shalat berjamaah adalah wajib. Jika hukumnya sunnah tentu lebih utama bagi orang yang dharurat dan lemah untuk meninggalkannya, juga orang yang keadaannya seperti Ibnu Ummi Maktum.” (Shahihut Targhib wat Tarhib, 246).

· Atha’ bin Abi Rabah berkata: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah, baik di kota maupun di desa memiliki rukhshah untuk meninggalkan shalat berjamaah jika mendengar seruan (adzan).” ( Shahihut Targhib wat Tarhib, 246).

Semangat Para Salaf dalam Shalat Berjamaah

· Ibnu Al-Musayyib rahimahullah berkata: “Saya tidak per nah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 tahun.” (As-Siyar, 4/221).

· Dari Utsman bin Hakim, aku mendengar Said bin Al-Musayyib berkata: “Tidaklah mu’adzin mengumandangkan adzan selama 30 tahun, kecuali aku berada di dalam masjid.” (As-Siyar, 221).

· Waki’ bin Al-Jarrah berkata: “Adalah Al-A’masy Sulaiman bin Mahran telah mendekati umur 70 tahun, tetapi ia tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram.” (As-Siyar, 6/228).

· Muhammad bin Al-Mubarak Ash-Shuri berkata: “Jika Said bin Abdul Azis ketinggalan shalat berjamaah, maka ia menangis.” (As-Siyar, 8/34)

· Muhammad bin Khafif rahimahullah memiliki sakit pinggang, jika ia diserang penyakit tersebut ia susah bergerak. Tetapi jika adzan berkumandang ia minta dipanggul di atas punggung orang lain. Suatu kali pernah dikatakan padanya, ‘Kenapa engkau tidak mengasihi dirimu?’ Beliau menjawab, ‘Jika kalian mendengar ‘hayya alash shalah’ tetapi tidak melihatku di dalam shaf (jamaah) maka carilah aku di kuburan.”

· Bila Al-Aswad An-Nakha’i rahimahullah ketinggalan shalat berjamaah maka beliau pergi ke masjid lain.

Di Antara Manfaat Shalat Berjamaah

· Sebagai ujian bagi hamba untuk mengetahui apakah dia termasuk orang yang mematuhi perintahNya ataukah terma suk orang yang berpaling dan durhaka kepadaNya.

· Sebagai wahana ta’aruf (perkenalan), persatuan dan ukhuwah Islamiyah, sehingga mereka menjadi seperti satu tubuh atau satu bangunan yang kokoh.

· Sebagai wahana unjuk kekuatan terhadap orang-orang kafir sehingga mereka takut terhadap kekuatan dan persa tuan umat Islam, dll. (Baca, 40 Manfaat Shalat Berjamaah, Musnid Al-Qahthani, Akafa Press).

Dan cukuplah sebagai penyejuk hati sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat berjamaah: “Siapa yang shalat 40 hari secara berjamaah, dan mendapati takbiratul ihram, niscaya ditulis baginya dua pembebasan; pembebasan dari Neraka dan pembebasan dari kemunafikan.” (HR. At-Tirmidzi, shahih).

Sumber: Risalah Ajilah ila Jaril Masjid, Muhammad Al-Musnid; Ila Man Takhallafa an Shalatil Jamaah, Hamd Al-Huraiqi; Al-Mutakhallifun an Shalatil Jamaah , Abdul Azis Rawah: Ahammiyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhl Ilahi. dll. (ain/alsofwah)

Read more...

Sosok Pemimpin Ideal Dalam Pandangan Islam

الحمد لله الذ ى ارسل رسوله بالهدى ود ين الحق ليظهره على الدين كله. ارسله بشيرا ونظيرا ودا عيا الى الله با ذنه وسرا جا منيرا. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له شها دة اعدها للقا ئه ذخرا . واشهد ان محمدا عبده ورسوله ارفع البر ية قد را. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله واصحا به ومن تبعهم باحسان الى يوم الد ين وسلم تسليما كثيرا. اما بعد ,أعو ذبالله من الشيطا ن الرجيم بسْمِ اللّهِ الرَّحمْنِ الرَّحيمِ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَآ إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ أمّا بعد فيا عباد الله أوصيكنم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون
Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah.

Masyarakat Indonesia tidak lama lagi akan melaksanakan PEMILU sebagai sebuah perwujudan demokrasi politik yang telah menjadi sebuah agenda rutin lima tahunan di negeri kita tercinta ini. Pesta Demokrasi kali ini , sangatlah berbeda dengan yang pernah terjadi sebelumnya, dalam artian ini merupakan momentum awal peletakkan pondasi demokrasi dalam berpolitik kearah yang lebih baik dari yang sebelumya. Indikator ini terlihat dari kinerja KPU yang berusaha menciptakan regulasi atau sebuah aturan yang mengakomodir serta menginventarisasi keinginan seluruh anak bangsa yang terwakili dalam wadah partai politik.


Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah

PEMILU pada kali ini akan dilakukan dalam tiga tahapan pemilihan , akhir dari proses ini tentunya akan menghasilkan para legislatif, presiden dan wakilnya. Tentunya ini semua berdasarkan hasil pemilihan oleh masyarakat, secara langsung, oleh sebab itu masyarakat sudah seharusnya dan sepantasnya mengetahui terlebih dahulu tokoh yang akan menjadi wakil atau pimpinan mereka nantinya, baik itu moralitas, ucapan dan janji-janjinya, jangan sampai salah pilih lagi, karena merekalah nantinya yang akan mengembalikan kehormatan dan martabat bangsa ini ke arah yang lebih mulia, menenteramkan, serta memberikan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh anak bangsa. Paling tidak kita dapat memilih pemimpin yang dapat mengembalikan pondasi awal yang kokoh dalam penegakan hukum yang tegas atau low inforcement serta amanah dalam mengemban tugas mulia ini. Sebagaimana diungkapkan dalam Firman Allah dalam surah an-Nisa’ ( Q 4; 58) Yang artinya:
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah
kepada yang berhak menerimanya “

Ayat diatas menyebutkan kata jama’ “ amanah-amanah,” artinya banyak sekali amanat yang kita terima sebagai khalifatullah fil arldh, apalagi bagi seorang pemimpin yang terpilih diantara sesama manusia, tentunya ia lebih banyak mengemban amanah sebagai konsekwensi pribadinya menerima pemilihan itu. Memimpin merupakan tugas seorang pemimpin, dalam kamus besar bahasa Indonesia, memimpin diartikan dengan menuntun atau menunjukkan jalan, ibarat memegang tangan seseorang sambil sambil berjalan. Dalam al-Qur’an kata yang memiliki arti pemimpin adalah imâm. Menurut raghîb al-Ishfahâni, imâm berarti orang yang diikuti dengan segala aspeknya, baik itu dalam kebenaran maupun dalam kebathilan. Dengan demikian seorang pemimpin dapat berkonotasi ganda, yaitu sebagai penuntun kearah positif ( baik) atau malah sebaliknya, kearah yang tidak baik atau negatif.
Ma’asyiral Muslimin Yang Terhormat

Di dalam al-Qur’ân lafaz Imâm terulang sebanyak 12 kali, 7 kali dalam bentuk tunggal 5 kali dalam bentuk jama’ dalam konteks yang berbeda-beda, seperti dalam Surah Yasîn; 12 lafaz imâm= Kitab ; Lauh Mahfuz). Berkaitan dengan konteks diatas, lafaz imâm sebagai teladan dalam kebaikan terdapat dalam surah al-Baqarah ; 124 ; al-Anbiyâ’ ;73, al-Furqôn ;74, al-Qashâs ; 5, al-Sajadah; 24. Sedangkan dalam QS : al-Taubah; 12, alQashâs ;41, mengenai pemimpin yang mengajak kepada kejahatan. Dan 1 kali tentang setiap ummat memiliki pemimpin yang bersifat baik maupun buruk QS: al-Isrâ’ ;71).
Hadirin Sidang Jum’at yang dicintai Allah
Menarik untuk diperhatikan, seluruh ayat yang berkaitan dengan pemimpin diatas, menggunakan kata ganti orang pertama ; jama’, kecuali QS ; al-Baqarah ;124, menggunakan orang pertama tunggal, dan al-Furqan ; 74 terkait dengan do’a. hal ini selain menunjukkan adanya keterlibatan pihak lain ( manusia ) selain Allah swt, dalam prosesi mengangkat / memilih pemimpin, juga menandaskan bahwa masalah memilih atau mengangkat pemimpin merupakan urusan manusia dan untuk kemashlahatan mereka. Karena itu Allah hanya memberikan rambu-rambu tertentu untuk memilih pemimpin yang berwibawa dan dapat diandalkan. Sedangkan manusialah yang terlibat langsung dalam masalah ini. Dengan demikian, pemimpin dari hasil pilihan manusia dapat saja baik atau sebaliknya buruk. Kondisi ini jelas berbeda dengan prosesi pengangkatan Nabi Ibrahim as, sebagai panutan ummat (Imam), karena yang akan dijadikan panutan adalah seorang Nabi, maka QS; al-Baqarah ;124, merujuk kata ganti tunggal yaitu Allah swt (innî jâ’iluka) yang berarti otoritas penuh mengangkat manusia pilihan.
Dari petunjuk ayat-ayat suci diatas, dapat ditemukan beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Siapakah mereka yang layak disebut sebagai pemimpin ideal dalam pandangan al- Qur’ân ?. Penggalan lafadz ibtalâ menjelaskan bahwa pemimpin harus teruji terlebih dahulu. Baik itu menyangkut kesehatan fisiknya, intelektual maupun moralnya. Akan tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengerjakan atau menyelesaikan masalah yang ada serta dapat memberikan solusi yang lebih memperioritaskan maslahah sebagaimana isyarat yang tertuang dalam lafadz faatammahunna yang akar katanya tamma.
Syarat lainnya, sekaligus realisasi dari terujinya moral pemimpin adalah kepatuhannya dalam menjalankan perintah agama (QS : al- Anbiyâ; 73) karena itu Nabi Muhammad SAW mewasiatkan agar tetap patuh; tidak memberontak kepada pemimpin selama dia masih mengerjakan shalat, walau kita membenci atau bahkan melaknatnya (HR Muslim). Sekalipun demikian pemimpin yang ideal tentu yang tidak dibenci apalagi dilaknat oleh masyarakatnya, akan tetapi berpihak kepada wong cilik (Mustad ‘afîn, renungkan QS: al- Qashas; 5) tidak hanya sebagai lipstik selain itu, sabar seperti dalam Surah (al- Sajadah; 24). Merupakan kriteria berikutnya bagi pemimpin yang ideal. Sabar bukan hanya dalam menghadapi cobaan dengan peristiwa maupun fenomena yang terjadi dalam negerinya, tetapi juga dalam melaksanakan atau mengakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu tak takut terhadap ancaman pihak tertentu.
Hadirin Sidang Jum’at Yang Dimuliakan Allâh
Menegakkan kebenaran dan keadilan bukanlah sesuatu hal yang gampang seperti membalik telapak tangan, sebab itu dapat dipahami kenapa pemimpin yang adil merupakan yang pertama-tama dari tujuh golongan yang akan mendapat jaminan perlindungan dari Allah SWT di akhirat nanti (Hadits Muttafaq `alaih). Dari sekian kriteria yang dikemukakan, dalam al-Qur’ân terdapat dua kriteria yang menurut analisa Quraih Shihab merupakan kriteria pokok yang mesti disandang oleh seorang pemimpin. Kedua hal itu hendaklah diperhatikan dalam memilih pemimpin. Kriteria yang dimaksud adalah kuat dan amanah seperti yang termaktub dalam Surah al-Qashas ; 26 , pengangkatan Yusuf as sebagai kepala logisitik kerajaan Mesir juga berkaitan dengan dua sifat ini sebagaimana yang termaktub dalam (QS; Yusuf; 54 ). Oleh karena itu Nabi Saw menasehati Abu Dzar untuk tidak menerima jabatan pemimpin karena lemah ( HR. Muslim). Tentu tidaklah mudah menemukan orang yang memiliki dua kriteria ini sekaligus, akan tetapi apabila kita perhatikan para kandidat legislatif dan eksekutif yang sering tampil di media masa maka dua kriteria tersebut masih banyak terdapat pada kriteria mereka walaupun sebagian besar telah mempunyai catatan hitam di masa lalu.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kita diwariskan oleh baginda Rasulullah Saw, dengan dua pegangan yaitu al-Qur’an dan Hadits, oleh sebab itu apabila mendapatkan permasalahan-permasalahan dalam hidup, maka jangan jangan ragu untuk merujuk kembali kepada kedua warisan berharga ini. Sebagaimana kita ketahui bersama pada akhir-akhir ini, berapa banyak pemimpin-pemimpin negeri tercinta ini yang terpilih tetapi mempunyai sifat yang tidak terpuji dan tercela diantaranya adalah sifat munafik, sifat munafik ini merusak amanat , dan amanat adalah salah satu kriteria yang paling fundamental yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Akibat sifat kemunafikan itu, banyak terjadi penghianatan terhadap amanah, banyak program terbengkalai, banyak rakyat dikecewakan dan dirugikan, serta kekayaan negarapun diselewengkan. Janji-janji mereka yang ingin memberantas KKN ternyata hanya tipuan dan pemanis mulut semata, hukum tajam kebawah tumpul keatas, penegakan hukum tegas dan keras bagi rakyat kecil, tetapi lemah dan berbelit-belit bagi kalangan berduit dan yang memegang jabatan. Ini tidak lain dan tidak bukan diakibatkan oleh sifat munafik yang melekat pada diri mereka, kemunafikan merupakan sikap atau perbuatan yang bertentangan antara lahir dan batin; lahirnya baik, tetapi batinnya jahat; mulutnya manis, tetapi hatinya pahit, mulutnya mengatakan kawan, tetapi dalam hatinya sesungguhnya musuh bebuyutan. Rasulullah Saw bersabda:
“ Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; apabila ia berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan jika dipercaya ia berkhianat”

Ma’asyiral Muslimin Yang Dimuliakan Allah
Pemilihan Umum kali ini merupakan kesempatan emas bagi kita untuk ekstra hati-hati memilih pemimpin yang akan memimpin negara tercinta ini. Pilihlah pemimpin yang bersifat amanah dan tegas dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, lihatlah track record mereka di masa lalu, jangan sampai tergoda dengan janji manis yang tak pernah terpenuhi, kita diberikan akal dan wahyu sebagai cahaaya yang dapat menyinari kita dalam kegelapan kehidupan, pergunakanlah secara proporsional dan bijaksana, semoga pemimpin yang kita pilih dapat mengemban amanat ummat, jadi dalam pilpres 2009 ini kita pilih pemimpin yang kalua kita timbang lebih banyak kebaikannya daripada keburukannya, sehingga apa yang kita lakukan punya nilai positif dalam meletakkan pondasi awal demi mencapai sebuah negara yang diberkahi dan diridhoi Allah Swt, Amin.

جَعَلَنَااللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُخْلِصِيْنَ, وَأَدْخَلَنَا مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ,وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ
خَيْرُ الَّراحِمِيْنَ.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP