RAMADHAN AIR

>> Sabtu, 29 Agustus 2009

Kami beritahukan pada para penumpang "RAMADHAN AIR" dengan nomor penerbangan1437 H. Bahwa perjalanan ini akan ditempuh dalam waktu 30 hari. Ketinggian jelajah amal dilipat gandakan, dengan tujuan TAQWA. Para penumpang diharap mengenakan sabuk AMANAH & menegakkan kursi IMAN & IKHLAS. Penerbangan ini bebas asap DENGKI & PERSELISIHAN. Atas nama awak kapal yang bertugas, kami ucapkan "SELAMAT MENIKMATI BONUS2 PAHALA.

Mohon maaf jika ada kesalahan, SEMOGA SELAMAT SAMPAI TUJUAN (TAQWA) Amiin ya Robbal Alamiin.

Read more...

SEPUTAR PERMASALAHAN I’TIKAF

>> Jumat, 14 Agustus 2009

1. Hikmahnya

Al-Allamah Ibnul Qayyim –raqhimahullah berkata: “Dan (Allah) syari’atkan i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat denganNya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata.”

Belaiu juga menyebutkan diantara tujuan i’tikaf adalah agar supaya kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepadaNya dan mendapatkan kedamaian bersama Allah sebagai persiapan kita menghadapi kesepian di alam kubur kelak.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berkata: “Tujuan dari pada i’tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah di dalam masjid agar supaya meraih karunia dan pahala serta mendapatkan lailatul qadar. Oleh sebab itu hendaklah seorang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca (Al-Qur’an), shalat dan ibadah lainnya. Dan hendaklah menjauhi segala yang tidak penting dari pada pembicaraan masalah dunia, dan tidak mengapa berbicara sedikit dengan pembicaraan yang mubah kepada keluarganya atau orang lain untuk suatu maslahat, sebagaimana hadis Shafiyyah Ummul Mukminin –radhiallahu anha berkata: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf lalu aku mengunjunginya pada suatu malam dan berbincang dengannya, kemudian aku bangkit untuk pulang lalu Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bangkit bersamaku (mengantarkanku).” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Makna I’tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘akif (orang yang sedang i’tikaf).

3. Disyari’atkannya I’tikaf dan Waktunya

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan sahabat Umar –Radhiallahu ‘Anhu pernah bertanya kepada Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf semalam di Masjidil Haram ?” Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Maka ia (Umar) beri’tikaf semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis sahabat Umar ini adalah dalil bahwa i’tikaf boleh dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan puasa, karena i’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyaratkan untuk menggabungkan keduanya, ini adalah pendapat yang benar. Diperbolehkan pula i’tikaf beberapa saat (tidak dalam waktu lama). (“Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/508-509 dan 6/511..)

Yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu , bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun yang dimana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)

Dan yang lebih afdhal lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Seseorang yang berniat i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hendaklah memulai i’tikafnya pada hari keduapuluh Ramadhan sebelum matahari terbenam, jadi malam pertamanya adalah malam keduapuluh satu Ramadhan.

(Lihat “Al-Mughni”, Ibnu Qudamah 4/489-491, “Mukhtashar Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” An-Nawawi 6/211, “Fiqhus Sinnah”, Sayyid Sabiq 1/622-623, dan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/521)

4. Hendaklah I’tikaf Dilakukan di Masjid

Hendaklah i’tikaf dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Ayat tersebut juga dalil atas diharamkannya jima’ dan segala pendahuluannya –seperti mencium dan meraba dengan syahwat- bagi orang yang i’tikaf.

I’tikaf boleh dilakukan di semua masjid, akan tetapi yang paling afdhal adalah i’tikaf di tiga masjid (Masjil Haram Mekkah kemudian Masjid Nabawi Madinah kemudian Masjdil Aqsha Palestina) sebagaimana sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Tidak ada i’tikaf (yang lebih sempurna dan afdhal) kecuali di tiga masjid (tersebut).”

(HR. AbduR Razzaq dalam “Al-Mushannaf” (8037) dengan sanad sahih. Lihat “Shifat Shoum Nabi“ hlm 93 dan gabungkan dengan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/505)

5. Wanita Boleh Beri’tikaf di Masjid

Wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid bersama suaminya atau sendirian, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha : “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah berkata: “Dalam hadis tersebut ada dalil bahwa boleh wanita beri’tikaf. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu terikat oleh ijin dari wali mereka, aman dari fitnah (hal-hal yang tidak di inginkan) dan tidak terjadi kholwah (berdua-duan) dengan laki-laki berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut dan juga kaidah fiqih: Menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.”

6. Tidak Keluar dari Masjid Kecuali Seperlunya

Hendaklah orang yang i’tikaf tidak keluar dari masjid selama ’tikaf kecuali seperlunya, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha: “Yang sunnah bagi orang i’tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk perkara yang mengharuskannya keluar.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad sahih)

Aisyah berkata pula: “Bahwasanya Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila i’tikaf tidak masuk rumah kecuali karena hajat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keluar dari masjid ketika ’tikaf ada tiga macam:



a). Keluar untuk suatu perkara yang merupakan keharusan seperti, buang air besar dan kecil, berwudhu dan mandi wajib atau lainnya seperti makan dan minum, ini adalah boleh apabila tidak memungkinkan dilakukan di dalam masjid.

b). Keluar untuk perkara ketaatan seperti, menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali apabila dia telah berniat dan mensyaratkannya di awal i’tikaf.

c). Keluar untuk perkara yang menafikan i’tikaf seperti, untuk jual beli, jima’ dan bercumbu dengan isterinya dan semacam itu, hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan i’tikaf dan menafikan maksud dari i’tikaf.

Read more...

YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH ORANG YANG PUASA

>> Senin, 10 Agustus 2009

Seorang hamba yang taat dan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ragu lagi bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hambaNya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Berikut ini diantara perbuatan-perbuatan tersebut beserta dalil-dalilnya :

1. Seorang yang Puasa Dibolehkan Memasuki Waktu Subuh dalam Keadaan Junub

Diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah -radhiallahu ‘anhuma: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Seorang yang Puasa Boleh Bersiwak (Menggosok Gigi)

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Kalaulah tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam tidak mengkhususkan orang yang puasa ataupun yang lainnya, ini sebagai dalil disunnahkan bersiwak (gosok gigi) bagi orang yang puasa dan lainnya setiap wudhu dan shalat.

Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu, baik sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Namun sebaiknya orang yang sedang berpuasa tidak menggunakan pasta gigi karena ada rasa dan aroma kuat yang dikhawatirkan ikut tertelan bersama ludah. Wallahu a’lam.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 112. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dan kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 63).

3. Berkumur-Kumur dan Istinsyaq (Memasukan Air ke Hidung Lalu Dikeluarkan Lagi Ketika Wudlu)

Karena Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berkumur dan beristinsyaq dalam keadaan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika istinsyaq (memasukan air ke hidung) Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “…..dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali apabila kamu dalam keadaan puasa.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).

4. Bercengkrama (Bercumbu) dan Mencium Istri

Ibunda Aisyah –Radhiallahu ‘Anha pernah berkata: “Bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mencium (isterinya) dalam keadaan puasa dan bercengakrama (bercumbu) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini diperbolehkan bagi mereka yang bisa menahan diri untuk tidak sampai keluar air mani atau menjurus kepada jima’.

5. Mengeluarkan Darah Untuk Pemeriksaan dan Suntikan yang Tidak Bertujuan Pengganti Makanan

Semua ini bukan pembatal puasa karena tidak ada dalil yang mengatakan batalnya puasa dengan hal-hal tersebut. Keterangan lebih lanjut dibahas dalam pembatal-pembatal puasa. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

6. Mencicipi Makanan

Hal ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan dan tidak ditelan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma: “Tidak mengapa mencicipi kholl (cuka) atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke tenggorokan.” (HR.Bukhari secara mu’allaq, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad hasan).

7. Memakai Celak, Obat Tetes Mata dan Telinga dan Lainnya

Semua ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya sampai di tenggorokan atau tidak, karena semua ini bukan makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah dalam risalahnya yang bermanfaat “Haqiqatus Shiyam”, serta muridnya Ibnul Qoyyim –rahimahullah dalam kitabnya ‘Zaadul Ma’ad”, juga para ulama yang lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin–rahimahullah dll.

Imam Bukhari –rahimahullah berkata dalam kitab “Shahih Bukhari”: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakhai’ memandang tidak mengapa memakai celak (sipat) bagi orang yang berpuasa.”

(“Majalis Syahr Ramadhan” karya Syaikh Utsaimin, hlm 110 dan “Sifhat Shoum Nabi “ hlm 56).

8. Memakai Hand Spray (Obat yang Disemprotkan Melalui Mulut) Bagi Penderita Asma (Sesak Napas)

Fadhlilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berpendapat bahwa memakai obat seperti ini tidaklah membatalkan puasa karena tidak sampai masuk ke dalam perut dan tujuannya adalah untuk membuka saluran napas sehingga seorang yang sesak napas bisa bernapas kembali dengan lega dan normal. Beliau berpendapat bahwa hal ini bukanlah makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum yang sampai masuk ke dalam perut.

(Kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 62-63, jama’ wa tartib: Salim bin Muhammad Al-Juhani).

9. Mengguyurkan Air Dingin ke Atas Kepala dan Mandi

Bukhari menyatakan di dalam kitab “Shahih Bukhari”: (Bab Mandinya Orang yang Puasa), Ibnu Umar –radhiallahu anhuma membasahi bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa (membasahi dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa).

Asy-Sya’biy -rahimahullah masuk kamar mandi dalam keadaan puasa.

Al-Hasan -rahimahullah berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin (untuk mendinginkan badan) dalam keadaan puasa.”

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.” (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad dengan sanad sahih.

Read more...

BERBUKA

>> Sabtu, 08 Agustus 2009

1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?

Amr bin Maimun Al Audiy: "Para sahabat Muhammad ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur." (Riwayat Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf dengan sanad yang disahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid)


2. Menyegerakan Berbuka

Dari Sahl bin Sa'ad ?Radhiallahu ?Anhu, Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.? (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ?Radhiallahu ?Anhu, Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)

Dari Sahl bin Sa'ad ?Radhiallahu ?Anhu, Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR. Ibnu Hibban dengan sanad sahih)

3. Berbuka Dengan Apa?

Dari Anas bin Malik ?Radhiallahu ?anhu berkata: "Adalah Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam berbuka dengan beberapa butir ruthab (kurma segar) sebelum shalat (Maghrib), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan beberapa butir tamar (kurma kering), jika tidak ada tamar maka beliau minum dengan beberapa tegukan air." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi dengan sanad sahih.)


4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash ?Radhiallahu ?Anhuma, Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak." (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Sunni dan Ath-Thayalisi dengan sanad sahih)

Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan:


ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

?Telah hilang rasa haus dan urat-urat telah basah serta pahala akan tetap, insya Allah.? (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)

Doa sahabat Abdullah bin Amr ?Radhiallahu ?Anhuma ketika berbuka

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ.

?Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, supaya Engkau beri ampunan atasku.? (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Seseorang diperbolehkan berdoa apa saja yang ia suka dari kebaikan dunia dan akhirat.

5. Memberi Makan Orang Yang Puasa

Rasulullah ?Shallallahu ?Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi buka orang yang puasa, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun." (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dengan sanad sahih)


Doa tamu kepada orang yang memberikan makanan

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ.

?Ya Allah! Berilah berkah apa yang Engkau rezekikan kepada mereka, ampuni dan belas kasihanilah mereka.? (HR. Muslim)

Berdoa untuk orang yang memberi makanan dan minuman

اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِيْ وَاسْقِ مَنْ سَقَانِيْ.

?Ya Allah! Berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku.? (HR. Muslim)

Doa apabila berbuka di rumah orang

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.

?Orang-orang yang berpuasa berbuka di sisimu dan semoga orang-orang yang baik memakan makananmu, serta semoga para malaikat memohonkan rahmat untukmu.? (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasa?i dengan sanad sahih)

Read more...

MENJELANG BULAN RAMADHAN

>> Rabu, 05 Agustus 2009

1. Menghitung Hari Bulan Sya’ban

Alhamdulillah kita sekarang sudah sampai pada Nisfu Sya'ban, 15 hari lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadhan. Menjelang Ramadhan hendaklah ummat Islam berupaya menghitung bulan Sya’ban. Dalam Islam, satu bulan bisa jadi dua puluh sembilan hari dan bisa jadi pula tiga puluh hari. Puasa atau ‘Ied (lebaran) hendaklah berpegang kepada Ru’yah Hilal (bulan), kecuali apabila bulan tidak terlihat dikarenakan tertutup awan atau yang lainnya maka bulan Sya’ban digenapkan tiga puluh hari.



Dari Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Puasalah kamu karena melihat hilal (bulan), dan berbukalah karena melihat hilal, jika kamu terhalangi awan, sempurnakanlah tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Umar –Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu puasa hingga melihat hilal, jangan pula kamu berbuka hingga melihatnya, jika kamu terhalangi awan hitunglah bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Larangan Berpuasa Pada Hari yang Diragukan



Hendaklah kita berpuasa pada bulan Ramadhan apabila telah masuk bulan tersebut dan dilarang mendahuluinya dengan alasan sikap hati-hati (ikhthiyath).

Dari Abu Huarairah –Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam pernah bersabda: “Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar bin Yasir –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qosim (Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam) .” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa’i dan Bukhari secara ta’liq. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam “Taghliqu Taqliq” menghasankan hadits diatas. Shifat Shoum Nabi hlm 28, Salim Al-Hilali dan Ali Hasan).

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP