TUNTUNAN SHALAT IED (FIQIH DUA HARI RAYA)

>> Rabu, 18 Agustus 2010

Berikut ini beberapa nukilan yang di sarikan dari kitab Zaadul Maaad, jilid 1 hal 441-449 karya Al-Imam Ibnul Qayyim-Rahimahullah dengan tahqiq, takhrij dan taliq Syuaib dan Abdul Qadir Al-Arnauth hafidhahumallah dan beberapa kitab lain, yang kesemuanya adalah berdasarkan riwayat-riwayat sahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam.

Disyariatkan untuk banyak-banyak bertakbir pada dua hari raya, yaitu pada Iedul Fitri semenjak Matahari terbenam malam Ied sampai pelaksanaan shalat Ied, adapun pada Iedul Adlha semenjak pagi hari Arafah setelah shalat subuh (9 Dzul Hijjah) sampai shalat Ashar akhir hari Tasyriq (13 Dzul Hijjah).

Membayarkan zakat fitrah sebelum shalat Iedul Fitri atau boleh dimajukan dua hari sebelumnya berupa makanan pokok (beras, dll) sebanyak satu Shaa (2,5 Kg) untuk di bagikan kepada para fakir dan miskin.


Ummu Athiyyah radhiallahu anha berkata: Kami diperintahkan mengajak keluar gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada kedua hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, wanita-wanita yang haid itu terpisah dari tempat shalat. (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu melaksanakan shalat Ied di mushalla, yaitu tanah lapang yang terletak di sebelah utara pintu masuk kota Madinah, dan beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu melaksanakan shalat dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adlha) di mushalla (tanah lapang).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu mengenakan pakaian terbaik dan terindah yang dimilikinya untuk shalat dua hari raya dan juga shalat Jumat.


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu memakan kurma beberapa butir dengan hitungan ganjil (1,3,5 dst) sebelum keluar menuju shalat Iedul Fitri, adapun Iedul Adlha beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam tidak memakan apapun sehingga pulang dari shalat Ied lalu memakan daging kurbannya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu mandi untuk shalat dua hari raya dan hal ini juga di lakukan oleh para sahabatnya termasuk Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma .

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam keluar ke tempat shalat dengan berjalan kaki sambil membawa tombak untuk di jadikan sebagai sutrah (pembatas shalat), karena di tanah lapang tidak ada sutrah (pembatas shalatnya).

Beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam melakukan shalat Ied apabila matahari telah terbit dan tanpa di sertai adzan maupun iqamah, juga tanpa seruan Ash-Sholatu Jamiah, yang sunnah adalah langsung shalat tanpa melakukan itu semua.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam melaksanakan shalat dulu sebelum khotbah, beliau shalat dua rakaat dengan tujuh takbir pada rakaat pertama dan lima takbir pada rakaat kedua. Pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah beliau membaca surat Qoof dan pada rakaat kedua setelah Al-Fatihah beliau membaca surat Al-Qomar dan terkadang beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam membaca surat Al-Ala pada rakaat pertama dan Al-Ghosyiah pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah.

Setelah selesai shalat beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam menghadap manusia yang masih berada di shaf-shaf mereka lalu memberikan khotbah yang berisi nasehat, perintah dan larangan atau yang lainnya.

Beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam juga mendatangi para wanita untuk memberikan nasehatnya kepada mereka.

Beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam membuka khotbahnya dengan memuji Allah Taala dan memberikan keringanan kepada para sahabatnya untuk mendengarkan khotbah atau langsung pulang setelah shalat Ied tanpa mendengarkan khotbah.

Beliau Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam selalu menyelisihi jalan ketika berangkat dan pulang dari shalat Ied agar tampak syiar Islam di segala penjuru dan untuk memberikan salam kepada semua penduduk dll.

Read more...

TUNTUNAN ZAKAT FITRAH

Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah adalah salah satu kewajiban yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam ketika selesai melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan.
Berkata sahabat Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa diantara kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jenis dan Kadar Yang Dikeluarkan
Zakat fitrah adalah mengeluarkan satu shaa (sekitar 2,5 kg) makanan pokok manusia. Berkata sahabat Abu Said Al-Khudri Radhiallahu Anhu: Kami mengeluarkan pada hari raya iedul fitri pada masa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam satu shaa daripada makanan. Dan makanan kami saat itu adalah gandum syair, anggur kering (kismis), susu yang dikeringkan dan kurma. (HR. Bukhari).

Selain Makanan Pokok Tidak Sah
Tidak sah mengeluarkannya dalam bentuk nilai makanan seperti: uang, pakaian, makanan pokok binatang dan barang-barang lainnya karena hal ini menyalahi perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam, beliau bersabda: Barangsiapa menciptakan hal-hal baru dalam urusan kami ini (dalam urusan agama dan syariat) apa yang bukan (berasal) darinya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, maka ia (amalan tersebut) tertolak.


Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang mempunyai kelebihan dari nafkah kebutuhannya untuk hari ied dan malamnya.
Seseorang wajib mengeluarkannya untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang berada dalam tanggungannya seperti isteri dan kerabat jika mereka tidak mampu mengeluarkannya untuk diri mereka sendiri, namun jika mereka mampu maka yang lebih afdhal adalah mereka mengeluarkannya sendiri.

Waktu Mengeluarkan dan Hikmahnya
Zakat fitrah wajib dikeluarkan sebelum shalat ied dan yang afdhal mengeluarkannya pada hari ied sebelum melaksanakan shalat ied. Diperbolehkan mengeluarkannya pada satu atau dua hari sebelum ied sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma. Tidak sah apabila dikeluarkan setelah shalat ied berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat (ied), ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa yang mengeluarkannya setelah shalat (ied), ia menjadi sedekah biasa. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dll dengan sanad sahih).

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Yang berhak menerima zakat fitrah adalah fakir miskin saja dan bukan delapan golongan sebagaimana zakat-zakat lainnya berdasarkan hadis diatas, Sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
Boleh diberikan beberapa zakat fitrah kepada seorang miskin dan boleh pula zakat fitrah yang diterimanya dipergunakan untuk membayarkan zakat fitrahnya sendiri dan orang-orang yang dalam tanggungannya.

Masalah
Waktu wajibnya zakat fitrah adalah terbenamnya matahai malam ied karena saat itu adalah waktu seseorang berbuka dan selesai (tuntas) mengerjakan ibadah puasa bulan Ramadhan. Oleh sebab itu:
- Apabila seseorang meninggal dunia sebelum matahari terbenam malam ied maka tidak diwajibkan atasnya zakat fitrah.
- Jika seseorang meninggal dunia setelah matahari terbenam malam ied maka wajib atasnya zakat fitrah.
- Jika bayi lahir setelah matahari terbenam malam ied maka tidak wajib atasnya zakat fitrah.
- Jika bayi lahir sebelum matahari terbenam malam ied maka wajib atasnya zakat fitrah...www.masdaus.blogspot.com

Rujukan:
- Majalis Syahr Ramadhan Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin.
- Fhushul fi Ash-Shiyam wa At-Tarawih wa Az-Zakah Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin.
- Shifat Shoum Nabi Fi Ramadhan Karya Salim bin Ied Al-Hilali dan Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
- Zaadul Maaad Karya Ibnul Qayyim.
- Bulughul Maraam Karya Ibnu Hajar, dll.

Read more...

Renungan Akhir Ramadhan

Allah subahanahu wa taala memuji orang-orang yang melakukan ketaatan kepadaNya dalam firmanNya: Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. Al-Mukminuun: 57-61).

Ibunda Aisyah radhiallahu anha berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam tentang ayat ini, aku berkata: Apakah mereka adalah orang-orang yang meminum khamr, berzina dan mencuri Beliau sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam menjawab: Tidak, wahai puteri Ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah dan mereka takut amal mereka tidak diterima (Allah subahanahu wa taala). Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).

Para salafush shaleh bersungguh-sungguh dalam memperbaiki dan menyempurnakan amal mereka kemudian setelah itu mereka memperhatikan dikabulkannya amal tersebut oleh Allah subahanahu wa taala dan takut daripada ditolaknya.


Sahabat Ali radhiallahu anhu berkata: Mereka lebih memperhatikan dikabulkannya amal daripada amal itu sendiri. Tidakkah kamu mendengar Allah subahanahu wa taala berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Maaidah: 27).

Dari Fadhalah bin Ubaid rahimahullah berkata: Sekiranya aku mengetahui bahwa amalku ada yang dikabulkan sekecil biji sawi, hal itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya, karena Allah subahanahu wa taala berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (mengabulkan) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Maaidah: 27).

Berkata Malik bin Dinar rahimahullah: Takut akan tidak dikabulkannya amal adalah lebih berat dari amal itu sendiri.

Berkata Abdul Aziz bin Abi Rawwaad rahimahullah: Aku menjumpai mereka (salafush shaleh) bersungguh-sungguh dalam beramal, apabila telah mengerjakannya mereka ditimpa kegelisahan apakah amal mereka dikabulkan ataukah tidak

Berkata sebagian salaf rahimahumullah: Mereka (para salafush shaleh) berdoa kepada Allahsubahanahu wa taala selama enam bulan agar dipertemukan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada Allah subahanahu wa taala selama enam bulan agar amal mereka dikabulkan.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah keluar pada hari raya Iedul Fitri dan berkata dalam khutbahnya: Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah berpuasa karena Allah subahanahu wa taala selama tiga puluh hari, dan kamu shalat (tarawih) selama tiga puluh hari pula, dan hari ini kamu keluar untuk meminta kepada Allah subahanahu wa taala agar dikabulkan amalmu.

Sebagian salaf tampak bersedih ketika hari raya Iedul Fitri, lalu dikatakan kepadanya: Ini adalah hari kesenangan dan kegembiraan. Dia menjawab: Kamu benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Tuhanku untuk beramal karenaNya, dan aku tidak tahu apakah Dia mengabulkan amalku atau tidak.


Bagaimana Agar Amal Dikabulkan

Allah subahanahu wa taala tidak akan menerima suatu amalan kecuali ada padanya dua syarat, yaitu: Ikhlas karena Allah subahanahu wa taala semata dan mutabaatus sunnah atau mengikuti sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam.

Allah subahanahu wa taala berfirman : Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah subahanahu wa taala berfirman (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2)

Al-Fudhail bin Iyad rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut dengan yang lebih baik amalnya adalah yang ikhlas karena Allah subahanahu wa taala semata dan mengikuti sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam.

Ikhlas Dalam Beramal

Ikhlas adalah mendekatkan diri kepada Allah subahanahu wa taala dengan melakukan ketaatan dan membersihkan niat dan hati dari segala yang mengotorinya. Ikhlas adalah beramal karena Allah subahanahu wa taala semata dan membersihkan hati dan niat dari yang selain Allah subahanahu wa taala.

Ikhlas adalah amalan yang berat karena hawa nafsu tidak mendapatkan bagian sedikitpun, namun kita harus selalu melatih diri kita sehingga menjadi mudah dan terbiasa untuk ikhlas.

Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda: Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan hanya mengharapkan wajahNya. (HR. An-Nasai dengan sanad hasan).

Seorang hamba tidak akan bisa selamat dari godaan syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas saja, sebagaima firman Allah subahanahu wa taala yang mengkisahkan tentang iblis: Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka. (QS. Shaad: 82-83).

Orang yang ikhlas adalah orang yang beramal karena Allah subahanahu wa taala semata dan mengharapkan kebahagiaan abadi di kampung akhirat, hatinya bersih dari niat-niat lain yang mengotorinya.

Berkata Yakub -rahimahullah: Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.

Orang yang tidak ikhlas adalah orang yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia seperti, ingin mendapatkan harta, kedudukan, jabatan, pangkat, kehormatan, pujian, riya dll.

Orang yang tidak ikhlas adalah orang yang rugi karena hari kiamat kelak mereka tidak mendapatkan apa-apa dari amalan mereka selama di dunia, bahkan Allah subahanahu wa taala murka kepada mereka dan memberikan hukuman yang setimpal, Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya. (QS. Az-Zumar: 48) . Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqaan:23)

Beramal Sesuai Sunnah / Mutabaatus Sunnah

Mutabaatus Sunnah adalah melakukan amalan yang sesuai sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam karena setiap amalan ibadah yang tidak dicontohkan Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam pasti ditolak dan tidak diterima oleh Allah subahanahu wa taala. Jadi semua ibadah yang kita kerjakan harus ada contoh, ajaran dan perintah dari Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam dan kita dilarang melakukan suatu amal ibadah yang tidak ada contoh, ajaran dan perintah dari Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam.

Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda: Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada ajarannya dari kami maka amalnya tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda pula: Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam agama kami yang tidak ada ajarannya maka dia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah: Hadis ini adalah salah satu prinsip agung (ushul) dari prinsip-prinsip Islam dan merupakan parameter amal perbuatan yang lahir (terlihat), sebagaimana hadis Innamal amaalu binniyyaat (Hadis tentang niat), adalah merupakan parameter amal perbuatan yang batin (tidak terlihat). Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah subahanahu wa taala maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, maka demikian pula halnya segala amal perbuatan yang tidak atas dasar perintah Allah subahanahu wa taala dan RasulNya sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam juga tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah subahanahu wa taala dan RasulNya sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikitpun.

Beliau berkata pula: Makna hadis (diatas adalah): bahwa barangsiapa amal perbuatannya keluar dari syariat dan tidak terikat dengannya, maka tertolak.

Berkata Ibnu Daqiq Al-Ied rahimahullah: Hadis ini adalah salah satu kaidah agung dari kaidah-kaidah agama dan ia merupakan jawamiul kalim (kata-kata yang singkat namun padat) yang diberikan kepada Al-Musthafa sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam, karena sesungguhnya ia (hadis ini) dengan jelas merupakan penolakan semua bidah dan segala yang dibuat-buat (dalam perkara agama).

Allah subahanahu wa taala berfirman: Katakanlah wahai Rasulullah-: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, pasti Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. (QS. Ali Imran: 31).

Allah subahanahu wa taala berfirman: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7).

Allah subahanahu wa taala berfirman: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzaab: 36)

Rasulullah sallallahu alaihi wa ala alihi wasallam bersabda: Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, karena semua perkara baru (bidah) dalan agama adalah tersesat. (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dll).

Semoga Allah Taala selalu menerima semua amal ibadah kita dan tidak ada satupan daripadanya yang tertolak, Allahumma Aamien

Read more...

PAHALA BAGI MEREKA YANG MENGERJAKAN SHALAT TARAWIH

>> Selasa, 17 Agustus 2010

Pada malam pertama, seorang mu’min akan keluar bebas dari dosanya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. Pada malam kedua, ia diampuni dosanya dan dosa kedua orang tuanya jika mereka adalah seorang mu’min. Pada malam ketiga, berteriaklah para malaikat dari bawah arasy:’ Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu. Pada malam keempat, ia diberi pahala seakan ia telah membaca kitab Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an. Pada malam kelima, ia diberi pahala oleh Allah pahala orang yang telah Shalat di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa. Pada Malam keenam, ia diberi pahala oleh Allah seperti pahala orang yang bertawaf di Baitullah dan meminta ampunan baginya segala batu dan pasir. Pada malam ketujuh, ia seakan telah mengalami masa Nabi Musa dan membelanya terhadap Fir’aun dan Haman. Pada malam kedelapan, Allah memberikan kepadanya seperti apa yang telah diberikan kepada Nabi Ibrahim as. Pada malam kesembilan, seakan akan ia telah beribadah kepada Allah seperti ibadahnya Nabi Muhammad SAW. Pada malam kesepuluh, dikaruniai oleh Allah kebaikan di dunia dan akherat.

Pada malam kesebelas, ia keluar dari dunia bebas dari dosanya seperti hari dilahirkan oleh ibunya. Pada malam kedua belas, ia akan tiba di hari qiamat dengan wajah berseri-seri bercahaya seperti bulan purnama. Pada malam ketiga belas, ia akan tiba di hari qiamat terhindar dari segala keburukan. Pada malam keempat belas, ia memperoleh kesaksian dari malikat bahwa ia telah melaksanakan shalat tarawih dan karenanya ia tidak menghadapi hisab. Pada malam kelima belas, para malaikat penduduk arasy membaca shalawat untuk dia. Pada malam keenam belas, Allah mencatat kebebasannya dari api neraka. Pada malam ketujuh belas, diberinya pahala Nabi-nabi. Pada malam kedelapan belas, ia dipanggil oleh para malaikat:”Hai hamba Allah, ketahuilah bahwa Allah telah meridhoi engkau dan meridhoi kedua orang tuamu”. Pada malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajat tingkatnya di dalam surga Firdaus. Pada malam kedua puluh, diberinya pahala para shuhada’ dan orang-orang sholeh. Pada malam kedua puluh satu, Allah membangun baginya sebuah rumah dari cahaya di dalam surga. Pada malam kedua puluh dua, tiba di hari qiamat terhindar dari rasa duka dan sesak hati. Pada malam kedua puluh tiga, dibangun oleh Allah sebuah kota didalam surga. Pada malam kedua puluh empat, dikabulkan dua puluh empat do’a darinya. Pada malam kedua puluh lima, dibebaskan oleh Allah dari adzab kubur. Pada malam kedua puluh enam, diberinya pahala empat puluh tahun. Pada malam kedua puluh tujuh, ia akan melewati shirat secepat kilat. Pada malam kedua puluh delapan, akan diberi seribu tingkat di surga. Pada malam kedua puluh sembilan, diberi oleh Allah pahala seribu kali perjalanan haji yang makbul. Pada malam ketiga puluh, Allah berfirman kepadanya: ”Hai hamba-Ku makanlah buah-buahan surga, mandilah dengan air salsabil dan minumlah air kautsar, Aku Tuhanmu dan engkau hamba-Ku. (Dikutip dari terjemahan kitab ”Durratun Nashihin”. Terjemahan Halaman 16)

Read more...

SEPUTAR PERMASALAHAN I’TIKAF

>> Senin, 16 Agustus 2010

1. Hikmahnya

Al-Allamah Ibnul Qayyim –raqhimahullah berkata: “Dan (Allah) syari’atkan i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat denganNya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata.”

Belaiu juga menyebutkan diantara tujuan i’tikaf adalah agar supaya kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepadaNya dan mendapatkan kedamaian bersama Allah sebagai persiapan kita menghadapi kesepian di alam kubur kelak.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berkata: “Tujuan dari pada i’tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah di dalam masjid agar supaya meraih karunia dan pahala serta mendapatkan lailatul qadar. Oleh sebab itu hendaklah seorang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca (Al-Qur’an), shalat dan ibadah lainnya. Dan hendaklah menjauhi segala yang tidak penting dari pada pembicaraan masalah dunia, dan tidak mengapa berbicara sedikit dengan pembicaraan yang mubah kepada keluarganya atau orang lain untuk suatu maslahat, sebagaimana hadis Shafiyyah Ummul Mukminin –radhiallahu anha berkata: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf lalu aku mengunjunginya pada suatu malam dan berbincang dengannya, kemudian aku bangkit untuk pulang lalu Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bangkit bersamaku (mengantarkanku).” (HR. Bukhari dan Muslim).


2. Makna I’tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘akif (orang yang sedang i’tikaf).

3. Disyari’atkannya I’tikaf dan Waktunya

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan sahabat Umar –Radhiallahu ‘Anhu pernah bertanya kepada Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf semalam di Masjidil Haram ?” Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Maka ia (Umar) beri’tikaf semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis sahabat Umar ini adalah dalil bahwa i’tikaf boleh dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan puasa, karena i’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyaratkan untuk menggabungkan keduanya, ini adalah pendapat yang benar. Diperbolehkan pula i’tikaf beberapa saat (tidak dalam waktu lama). (“Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/508-509 dan 6/511..)

Yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu , bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun yang dimana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)

Dan yang lebih afdhal lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Seseorang yang berniat i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hendaklah memulai i’tikafnya pada hari keduapuluh Ramadhan sebelum matahari terbenam, jadi malam pertamanya adalah malam keduapuluh satu Ramadhan.

(Lihat “Al-Mughni”, Ibnu Qudamah 4/489-491, “Mukhtashar Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” An-Nawawi 6/211, “Fiqhus Sinnah”, Sayyid Sabiq 1/622-623, dan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/521)

4. Hendaklah I’tikaf Dilakukan di Masjid

Hendaklah i’tikaf dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Ayat tersebut juga dalil atas diharamkannya jima’ dan segala pendahuluannya –seperti mencium dan meraba dengan syahwat- bagi orang yang i’tikaf.

I’tikaf boleh dilakukan di semua masjid, akan tetapi yang paling afdhal adalah i’tikaf di tiga masjid (Masjil Haram Mekkah kemudian Masjid Nabawi Madinah kemudian Masjdil Aqsha Palestina) sebagaimana sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Tidak ada i’tikaf (yang lebih sempurna dan afdhal) kecuali di tiga masjid (tersebut).”

(HR. AbduR Razzaq dalam “Al-Mushannaf” (8037) dengan sanad sahih. Lihat “Shifat Shoum Nabi“ hlm 93 dan gabungkan dengan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/505)

5. Wanita Boleh Beri’tikaf di Masjid

Wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid bersama suaminya atau sendirian, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha : “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah berkata: “Dalam hadis tersebut ada dalil bahwa boleh wanita beri’tikaf. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu terikat oleh ijin dari wali mereka, aman dari fitnah (hal-hal yang tidak di inginkan) dan tidak terjadi kholwah (berdua-duan) dengan laki-laki berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut dan juga kaidah fiqih: Menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.”

6. Tidak Keluar dari Masjid Kecuali Seperlunya

Hendaklah orang yang i’tikaf tidak keluar dari masjid selama ’tikaf kecuali seperlunya, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha: “Yang sunnah bagi orang i’tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk perkara yang mengharuskannya keluar.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad sahih)

Aisyah berkata pula: “Bahwasanya Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila i’tikaf tidak masuk rumah kecuali karena hajat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keluar dari masjid ketika ’tikaf ada tiga macam:



a). Keluar untuk suatu perkara yang merupakan keharusan seperti, buang air besar dan kecil, berwudhu dan mandi wajib atau lainnya seperti makan dan minum, ini adalah boleh apabila tidak memungkinkan dilakukan di dalam masjid.

b). Keluar untuk perkara ketaatan seperti, menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali apabila dia telah berniat dan mensyaratkannya di awal i’tikaf.

c). Keluar untuk perkara yang menafikan i’tikaf seperti, untuk jual beli, jima’ dan bercumbu dengan isterinya dan semacam itu, hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan i’tikaf dan menafikan maksud dari i’tikaf.

Read more...

PERKARA YANG WAJIB DIJAUHI OLEH ORANG YANG BERPUASA

Dari Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah –Shallalahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, Allah tidak butuh dengan ia meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (HR. Bukhari).
Dari Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah –Shallalahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Puasa bukanlah (menahan diri) dari makan dan minum (semata), akan tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji, jika ada orang yang mencelamu atau berlaku jahil atasmu, katakanlah : “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim dengan sanad shahih).
Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: “Banyak orang yang puasa, bagiannya dari puasa hanyalah lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih).

Puasa adalah sarana yang menyampaikan seseorang kepada derajat takwa, oleh sebab itu hendaklah orang yang berpuasa turut mempuasakan semua anggota tubuhnya dengan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:
1. Mempuasakan lisan.
2. Mempuasakan mata.
3. Mempuasakan telinga.
4. mempuasakan perut.
5. Mempuasakan syahwat.
6. Mempuasakan tangan.
7. Mempuasakan kaki.
8. Mempuasakan hati dll…

Read more...

MENGGAPAI LAILATUL QADAR

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr : 1-5)

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu takdir selama setahun. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3 - 6)

2. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Ini adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika seorang dari kamu merasa lemah atau tidak mampu maka janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar?

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyam (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau bertanya: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menjawab” “Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah, Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan,

maka maafkanlah hamba.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)

Dari ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila telah masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (banyak beribadah), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga dari ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha, belaiu berkata: “Adalah Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) sepuluh hari terakhir yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR. Muslim)

4. Tanda-Tandanya

Dari ‘Ubaiy –Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas -Radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya sinar matahari melemah kemerah-merahan.”

Read more...

SEPULUH PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA

>> Sabtu, 14 Agustus 2010

1. Siapakah yang Diwajibkan Puasa ?

Puasa diwajibkan atas setiap orang Islam yang baligh, berakal, mukim (tidak bepergian), mampu dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Orang kafir tidak diwajibkan puasa dan tidak sah puasa mereka.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 43-44. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

2. Puasa Anak Kecil

Anak kecil tidak diwajibkan puasa sehingga baligh, akan tetapi hendaklah dilatih puasa semampunya. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pena diangkat dari tiga (golongan). Dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecil hingga baligh dan dari orang gila sehingga sadar.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dll dengan sanad sahih).

Seorang anak dikatakan baligh apabila terdapat padanya salah satu diantara tiga perkara:

a). Keluar air mani. b). Tumbuh rambut keras disekitar kemaluan. c). Mencapai usia lima belas tahun.

Apabila wanita maka ada perkara keempat, yaitu keluarnya darah haidh.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 44-46. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

3. Orang Gila atau Hilang Akal

Orang gila atau orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan puasa dan tidak diharuskan untuk meng-qadha puasanya. Apabila seseorang kadang hilang akalnya dan kadang sadar maka dia diwajibkan puasa ketika sadar saja. Seseorang yang berpuasa lalu pingsan sebentar di siang hari tidaklah batal puasanya.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 46-47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).


4. Orang Tua yang Sudah Pikun

Orang tua yang sudah pikun dan tidak lagi bisa membedakan yang baik dan buruk tidaklah diwajibkan puasa dan tidak pula diwajibkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) karena dia bukan termasuk orang yang mukallaf (dibebankan untuk melaksanakan kewajiban), hukum orang seperti ini adalah seperti anak kecil. Apabila kadang pikun dan kadang sadar maka diwajibkan puasa ketika sadar saja.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 47. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

5. Musafir

Allah Ta’ala berfirman: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).

Hamzah bin Amr Al-Aslamiy –Radhiallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar? –beliau (Hamzah) adalah orang banyak melakukan puasa-, maka Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Said Al-Khudri –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat lalu puasa itu adalah baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka itu juga baik.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baghawi dengan sanad sahih)

Yang lebih afdhal bagi musafir adalah melakukan yang paling mudah baginya (berpuasa atau berbuka), dan jika sama saja keduanya maka yang lebih afdhal adalah puasa karena membebaskannya dari tanggungan (hutang puasa) dan lebih bersemangat karena dia puasa bersama-sama manusia.

Apabila puasa itu berat baginya maka hendaklah berbuka dan tidak berpuasa ketika safar. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 51. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

6. Orang Sakit

Orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya ada tiga macam:

a). Orang sakit yang tidak berat baginya puasa dan tidak berbahaya, maka diwajibkan atasnya berpuasa karena tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.

b). Orang sakit yang berat baginya puasa akan tetapi tidak berbahaya, maka hendaklah dia berbuka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang didatangi (dikerjakan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad sahih). Dalam riwayat yang lain: “Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan.”.(HR. Ibnu HIbban dll dengan sanad sahih)

c). Orang sakit yang berbahaya baginya puasa, maka wajib atasnya berbuka dan tidak diperbolehkan puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa’: 29). Dan firmanNya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195).

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu.” (HR. Bukhari).

Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: “Tidak boleh ada madharat (bahaya) dan tidak boleh menimbulkan madharat.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruqthni dll dengan sanad hasan)

7. Orang yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa

Orang yang tidak mampu lagi berpuasa seperti orang yang sudah tua tapi tidak pikun dan orang yang sakit parah dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya seperti penderita penyakit kanker dan semacamnya, tidak wajib atas mereka berpuasa karena mereka memang sudah tidak mampu lagi puasa. Akan tetapi wajib atas mereka untuk mengganti pusanya dengan memberikan makan setiap harinya kepada seorang miskin dengan sekali makan. Boleh berupa makanan pokok seperti beras sebanyak satu mud setiap harinya. (satu mud = ¼ sha’ . satu sha’ di Indonesia = 2.5 kilo gram. Jadi satu mud kurang lebih 625 gram).

Dan boleh pula diberikan berupa makanan yang sudah siap dimakan.

Ibnu Abbas -Radhiallahu ‘Anhuma berkata: “Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin.” (Riwayat Bukhari)

Dari Anas bin Malik –Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya beliau lemah (tidak mampu untuk puasa karena sudah tua) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah tsarid (nama jenis makanan), dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang.” (Riwayat Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)

8. Perempuan Hamil dan Menyusui

Perempuan hamil dan menyusui apabila berat bagi mereka puasa atau khawatir terhadap anaknya maka diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan memberikan makan kepada orang miskin setiap harinya tanpa berkewajiban meng-qadha.

Diriwayatkan Ad-Daruquthni dan dishahihkannya dari Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya beliau berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”.

Diriwayatkan Ad-Daruquthni pula dari jalan lain dengan sanad jayyid: Bahwasanya isteri Ibnu Umar –Radhiallahu ‘Anhuma ketika sedang hamil bertanya kepadanya (tentang puasa), lalu beliau menjawab: “Berbukalah dan berilah makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak perlu kamu qadha”.

Dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata: “Perempuan hamil dan menyusui (boleh) berbuka dan tanpa meng-qadha”. (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad sahih)

(“Irwa’ul Ghalil” 4/17-25 Karya Syaikh Al-Albani dan “Shifat Shoum Nabi“ Karya Syaikh Salim Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan, hlm 80-85)

9. Perempuan Haid dan Nifas

Perempuan haid dan nifas diharamkan untuk puasa dan tidak sah puasa mereka. Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda tentang perempuan: “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan tidak puasa?” Kami katakan: “Ya.” Beliau bersabda: “Itulah (bukti) kurang agamanya.” (HR. Muslim)

Diwajibkan atas mereka untuk meng-qadha puasa. Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah -Radhiallahu ‘Anha: “Mengapa perempuan haid meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat?” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha balik bertanya: “Apakah engkau wanita Haruriy?” Aku menjawab: “Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.” ‘Aisyah –Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami juga haid pada masa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Haruriy nisbat kepada Harura’ (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruriy karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib –Radhiallahu ‘Anhu ada di negeri tersebut.

10. Orang Yang Perlu Berbuka Untuk Menolong Orang Lain:

Adakalanya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran, tenggelam dan semacamnya sehingga memerlukan orang lain untuk menolong mereka dan yang menolong tidak akan mampu melaksanakan tugasnya apabila dalam keadaan puasa dan iapun harus berbuka agar kuat dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka orang yang menolong tersebut diperbolehkan berbuka dan bahkan diwajibkan demi menolong orang lain dari kebinasaan. Demikian juga seseorang yang berjihad fi sabilillah dan membutuhkan makan dan minum agar kuat maka diperbolehkan berbuka dan mengantinya (qadha) pada hari yang lain.

Read more...

Puasa dan Tahap-tahap Pertumbuhan Mental

Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahjimakumullah
الحمد لله الذ ى ارسل رسوله بالهدى ود ين الحق ليظهره على الدين كله. ارسله بشيرا ونظيرا ودا عيا الى الله با ذنه وسرا جا منيرا. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له شها دة اعدها للقا ئه ذخرا . واشهد ان محمدا عبده ورسوله ارفع البر ية قد را. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله واصحا به ومن تبعهم باحسان الى يوم الد ين وسلم تسليما كثيرا. اما بعد ,أعو ذبالله من الشيطا ن الرجيم بسْمِ اللّهِ الرَّحمْنِ الرَّحيمِ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ أما بعد فيا عباد الله أوصيكنم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون

Pada saat Al-Qur’an, memaklumatkan kewajiban puasa kepada orang-orang beriman di dalam surah Al-Baqarah ayat 183, disitu dijelaskan pula atas orang-orang atau umat-umat sebelumnya. Isyarat yang paling jelas dalam kandungan makna ayat tersebut adalah bahwa puasa bukan ibadah ritual yang menjadi ciri khas umat nabi Muhammad SAW belaka, puasa hampir bisa ditemukan di setiap tempat, setiap budaya, setiap umat. Tetapi tentu saja dengan dengan perbedaan tempo dan tata cara. Tetapi dengan maksud dan tujuan yang hampir sama; yaitu membina dan mengarahkan pertumbuhan mental, menapaki jalan-jalan spritual untuk membebaskan jiwa dari jeratan dunia daging.
Maryam misalnya, melakukan puasa bicara di detik-detik menjelang melahirkan anaknya Nabi Isa AS, yang tidak punya ayah. Coba bayangkan seorang wanita belia hamil tanpa suami lalu semua orang menuduhnya dengan kata-kata keji dan nista. Betapa terguncangnya ia secara fisik dan mental pada saat itu. Tetapi puasa memberinya ketenangan bathin sekaligus jalan di saat-saat kritis seperti itu. Ia sukses, Nabiyullah Isa AS akhirnya lahir dengan tanda-tanda kebesaran Allah.


Kebiasaan Maryam akhirnya ditularkan kepada anaknya, Nabiyullah Isa As, berpuasa selama 40 hari saat setan datang menawarkan kepadanya kemasyhuran dan kekuasaan. Ia menolak kekayaan demi mempertahankan kekayaan. Ia menolak kekuasaan agar tetap berkuasa, Ia memilih mengurusi orang lain supaya dirinya tetap terurusi, Ia menghidupkan orang mati agar dirinya tidak mati. Dan memang benar Ia sampai sekarang masih terus hidup, paling tidak di benak kaum Muslim dan Nasrani. Nabiyullah Musa As berpuasa 40 hari ketika berada di gunung Tursina ketika akan menerima kata-kata suci : sepuluh perintah Allah. Sesuatu yang suci hanya akan bisa keluar dari tempat dan sikap yang suci pula dan masih banyak Nabi-nabi yang melakukan puasa sebagai sebuah jalan dalam menggapai keinginan mulia.


Ma’asyiral Jum’ah Rahimakumullah
Puasa tidak hanya pernah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul semata, orang Indian misalnya mereka telah lama melakukan puasa sebagai alat penolak bala, kalau mereka ingin menghindarkan kampung halaman dan masyarakatnya dari penyakit, bencana alam dan perang, kepala suku mereka memerintahkan mereka ramai-ramai untuk melakukan puasa. Puasa juga mereka laksanakan untuk sebagai wahana pertobatan atas segala kesalahan yang telah mereka perbuat. Socrates dan muridnya Plato, kedua filsuf ini biasanya berpuasa sepuluh hari untuk meningkatkan kesehatan fisik dan jiwanya. Boleh jadi karena kebiasaannya berpuasa sehingga mereka begitu cerdas dan futuristik.
Hippocrates adalah seorang dokter Yunani yang sangat terkenal pada zamannya. Di zaman ketika farmasi belum semaju seperti sekarang, apa yang paling sering diresepkan kepada pasiennya agar cepat sembuh dan sehat? Jawabannya ternyata puasa. Pendek kata ritual puasa dapat ditemukan pada hampir semua kebudayaan lama. Saat Columbus mendaratkan kapal petualangannya di Benua Amerika, iapun menemukan beberapa suku di Peru yang menjadikan puasa sebagai salah satu dari sekian syarat pengampunan dosa. Bahkan kebiasaan puasa ini bukan hanya kita temukan sebagai sebuah Kredo (Kepercayaan) bagi manusia-entah berdasarkan ajaran agama atau sekedar mitos, tapi juga sebagai naluri yang hidup di beberapa jenis hewan. Ikan Salmon umpamanya, berpuasa beberapa minggu lamanya berenang ke hulu sejauh beberapa mil untuk bertelur. Ratu semut menjalani mogok makan demi menunggui telurnya yang akan menetas. Dan banyak lagi contoh hewan yang memiliki kebiasaaan seperti itu.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Hal ini semuanya kian memperkuat dugaan bahwa puasa, selain bersifat syar’I (perintah agama) juga bersifat tabi’I (sesuai dengan bawaaan alamiah), insani (sesuai dengan hasrat intelek manusia), dan Jama’i (sesuai dengan hasrat sosial). Maka saat kita menjalankan puasa, selain menggugurkan kewajiban keagamaan kita, kita juga telah mengadaptasikan sifat alamiah dan ritme tubuh kita, sehingga lebih kondusif untuk lebih cerdas, juga berperan serta dalam memperkuat solidaritas sosial dimana kita tinggal, tentu saja dengan catatan puasa itu dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan penghayatan.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Puasa adalah suatu metode yang berangkat dari asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu muncul secara bersamaan dan karenanya harus pula dipenuhi secara simultan. Maka dalam pelaksanaan ibadah puasa, keempat kebutuhan itu terasa diakomodasi secara serempak, yang tadi dikatakan bersifat syar’I, tabi’I, insani dan jama’i. Puasa, dengan demikian dalam dirinya sudah bersifat egaliter. Tanpa memungkiri bahwa perkembangan kualitas mental manusia memang berjenjang, berkembang dari suatu maqam (tahap) ke maqam berikutnya. Tahapan-tahapan seperti ini disebut maqamât. Setiap maqam memiliki keadaannya masing-masing yang disebut hal. Keadaan-keadaan pada masing-masing maqam itulah yang disebut ahwal. Tetapi perjenjangan itu bukan berdasarkan kemampuan material, melainkan berdasarkan nawaitu (niat), mujahadah (perjuangan), dan istiqomah (kesabaran dan konsistensi). Itu sebabnya semua orang, tanpa melihat status sosialnya, bisa menapaki jenjang demi jenjang itu. Karena ketiga syarat tadi (nawaitu, mujahadah, dan istiqomah) bisa dimiliki oleh siapa saja.

Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Puasa melatih dan mengajarkan kita untuk bergerak secara simultan dan bergerak dari keadaan yang kurang baik ke keadaan yang lebih baik. Maka kalau kita berpuasa secara benar dan sungguh-sungguh, niscaya kita akan bergerak secara vertikal dari nafs amarah kepada nafs lawwamah lalu ke nafs marhaman sehingga akan mencapai posisi puncak yaitu nafs muthmainnah. Atau kita akan bergerak dari suatu modus kehidupan kepada modus kehidupan berikutnya. Dari modus menang ke modus senang, lalu ke modus aman, hingga ke modus yang lebih tinggi yaitu ketenangan lahir dan batin.
Pada bulan yang penuh hikmah dan kemuliaan ini, sudah seyogyanya kita lebih intensif meningkatkan ibadah kita baik yang mahdoh maupun yang sunnah, paling tidak dengan puasa kita dapat berpindah dari kebiasaan yang kurang baik kepada kebiasaan yang lebih bermanfaat dan membawa kemashlahatan. Manfaatkanlah bulan suci ini dengan sebaik-baiknya karena Allahlah yang langsung menilai dan yang memberikan ganjaran-Nya tanpa perantara, sungguh amat istimewa dan teristimewa kemuliaan dan keutamaan puasa pada bulan ramadhan.
Bagi Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh, bulan puasa bukan Cuma sekedar bulan menahan diri untuk tidak makan, tidak minum,tidak campur dengan istri. Hal ini sangat dangkal nilainya, karena puasa adalah menghentikan hasrat yang bertentangan dengan hasrat Ilahi. Inilah sebabnya grafik amalan-amalan Nabi dan para sahabatnya terus menanjak dari hari ke hari pada bulan suci ramadhan: I’tikaf (tinggal di mesjid sambil beribadah), ikat pinggangnya dikencangkan, betisnya bengkak-bengkak, matanya sembab mengingat Sang kekasih. Mereka tidak menyia-nyiakan momen yang sangat berharga dan hanya datang sekali setahun-dan belum tentu ditemui kembali di tahun berikutnya-itu hanya untuk kegiatan yang tidak bersifat substansial. (tidak mensubstansikan kegiatan –yang sebetulnya tidak substansial-dengan melakukan rasionalisasi karena itu namanya mencundangi diri sendiri. Peningkatan kualitas mental dan kedekatan diri kepada Allah, merupakan output dari bulan puasa, kita hendaknya mampu menyemangati, mempengaruhi, dan mewarnai perjalanan hidup kita minimal sebelas bulan berikutnya. Sehingga persis ketika kualitas mental mendekati titik nol kembali, kita telah memasuki upgrading (peningkatan) lagi. Itu target minimalnya. ibarat kalau kita tidak mengisi BBM kendaraan untuk bepergian seharian, maka minimal kita pastikan kendaraan kita sampai pada pom bensin berikutnya, pada saat bahan bakarnya habis.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Mudah-mudahan kita tergolong hamba Allah yang mukmin sebagaimana yang diserukan dalam surah al-Baqarah ayat 183, yang pantas dan mampu melaksanakan ibadah puasa, tidak hanya pada dataran meramaikan tetapi lebih pada dataran menghidupkan bulan suci ini, sehingga puasa kita tidak hanya berakhir dengan takbiran dan shalat ‘ied saja, atau berakhir dengan pulang kampung semata, atau eforia sebentar kemudian kembali kepada kebiasaan jelek semula, akan tetapi dapat menjadi hamba Allah yang senantiasa terus istiqomah dan konsisten dalam menjalankan syariat Allah pada sebelas bulan berikutnya. Amin.
بَارَكَ اللّهُ لِى وَ لَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِ يَّا كُمْ ِبمَا فِيْهِ مِنَ الآ يآتِ وَالذِّكْر الحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلآوَتَهُ إِ َنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلَعلِيمُ,أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الُمْسلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

Read more...

YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH ORANG YANG PUASA

>> Jumat, 13 Agustus 2010

Seorang hamba yang taat dan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ragu lagi bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hambaNya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Berikut ini diantara perbuatan-perbuatan tersebut beserta dalil-dalilnya :

1. Seorang yang Puasa Dibolehkan Memasuki Waktu Subuh dalam Keadaan Junub

Diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah -radhiallahu ‘anhuma: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Seorang yang Puasa Boleh Bersiwak (Menggosok Gigi)

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Kalaulah tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam tidak mengkhususkan orang yang puasa ataupun yang lainnya, ini sebagai dalil disunnahkan bersiwak (gosok gigi) bagi orang yang puasa dan lainnya setiap wudhu dan shalat.

Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu, baik sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Namun sebaiknya orang yang sedang berpuasa tidak menggunakan pasta gigi karena ada rasa dan aroma kuat yang dikhawatirkan ikut tertelan bersama ludah. Wallahu a’lam.

(“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 112. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dan kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 63).

3. Berkumur-Kumur dan Istinsyaq (Memasukan Air ke Hidung Lalu Dikeluarkan Lagi Ketika Wudlu)

Karena Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berkumur dan beristinsyaq dalam keadaan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika istinsyaq (memasukan air ke hidung) Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “…..dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali apabila kamu dalam keadaan puasa.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).


4. Bercengkrama (Bercumbu) dan Mencium Istri

Ibunda Aisyah –Radhiallahu ‘Anha pernah berkata: “Bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mencium (isterinya) dalam keadaan puasa dan bercengakrama (bercumbu) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini diperbolehkan bagi mereka yang bisa menahan diri untuk tidak sampai keluar air mani atau menjurus kepada jima’.

5. Mengeluarkan Darah Untuk Pemeriksaan dan Suntikan yang Tidak Bertujuan Pengganti Makanan

Semua ini bukan pembatal puasa karena tidak ada dalil yang mengatakan batalnya puasa dengan hal-hal tersebut. Keterangan lebih lanjut dibahas dalam pembatal-pembatal puasa. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

6. Mencicipi Makanan

Hal ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan dan tidak ditelan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma: “Tidak mengapa mencicipi kholl (cuka) atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke tenggorokan.” (HR.Bukhari secara mu’allaq, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad hasan).

7. Memakai Celak, Obat Tetes Mata dan Telinga dan Lainnya

Semua ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya sampai di tenggorokan atau tidak, karena semua ini bukan makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah dalam risalahnya yang bermanfaat “Haqiqatus Shiyam”, serta muridnya Ibnul Qoyyim –rahimahullah dalam kitabnya ‘Zaadul Ma’ad”, juga para ulama yang lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin–rahimahullah dll.

Imam Bukhari –rahimahullah berkata dalam kitab “Shahih Bukhari”: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakhai’ memandang tidak mengapa memakai celak (sipat) bagi orang yang berpuasa.”

(“Majalis Syahr Ramadhan” karya Syaikh Utsaimin, hlm 110 dan “Sifhat Shoum Nabi “ hlm 56).

8. Memakai Hand Spray (Obat yang Disemprotkan Melalui Mulut) Bagi Penderita Asma (Sesak Napas)

Fadhlilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berpendapat bahwa memakai obat seperti ini tidaklah membatalkan puasa karena tidak sampai masuk ke dalam perut dan tujuannya adalah untuk membuka saluran napas sehingga seorang yang sesak napas bisa bernapas kembali dengan lega dan normal. Beliau berpendapat bahwa hal ini bukanlah makan dan minum dan tidak sama dengan makan dan minum yang sampai masuk ke dalam perut.

(Kitab “48 Su’aalan Fi Ash-Shiyam Ajaba Alaiha Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin” hlm 62-63, jama’ wa tartib: Salim bin Muhammad Al-Juhani).

9. Mengguyurkan Air Dingin ke Atas Kepala dan Mandi

Bukhari menyatakan di dalam kitab “Shahih Bukhari”: (Bab Mandinya Orang yang Puasa), Ibnu Umar –radhiallahu anhuma membasahi bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa (membasahi dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa).

Asy-Sya’biy -rahimahullah masuk kamar mandi dalam keadaan puasa.

Al-Hasan -rahimahullah berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin (untuk mendinginkan badan) dalam keadaan puasa.”

Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.” (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad dengan sanad sahih.

Read more...

Diantara AmalanUntuk Memakmurkan Ramadhan...

Memperbanyak Membaca Al-Qur'an dengan Tadabbur
Ramadhan adalah bulan Al-Qur'an oleh karena itu kita dianjurkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur'anpada bulan tersebut dengan tadabbur (penghayatan) dan berusaha untuk mengamalkannya.
Disebutkan dalam riwayat sahih bahwa Malaikat Jibril –Alaihis Salam selalu datang pada bulan Ramadhan mengajarkan Al-Qur'an kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi WaSallam dan pada akhir hayat Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi WaSallam Malaikat Jibril –Alaihis Salam datang dua kali untuk mengajarkanAl-Qur'an kepada Beliau.

Demikianlah yang dilakukan para Salaf As-Saleh, yaitu memakmurkan Ramadhan dengan Al-Qur'an. Az-Zuhry –Rahimahullah apabila telah masuk bulan Ramadhan mengatakan: "Ini adalah bulan membacaAl-Qur'an dan memberi makan (orang yang membutuhkan)".

Imam Malik –Rahimahullah apabila masuk bulan Ramadhan meninggalkan membaca hadis dan majelis-majelisilmu dan beliau menghadap secara penuh kepada Al-Qur'an dengan membacanya dari mushhaf.


Memelihara Shalat Sunnah Rawatib
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Tiadalah seorang hamba muslim yang shalatkarena Allah setiap hari dua belas raka'at, (shalat) thathawwu' (sunnah) bukanfardhu, melainkan Allah membangunkan untuknya rumah di surga." (HR. Muslim)

Mengerjakan Shalat Dhuha
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Shalat Dhuha adalah Shalatul Awwaabiin(shalatnya orang-orang yang selalu kembali kepada Allah)." (HR. Abu Dawud danAt-Tirmidzi dengan sanad sahih)

Bersedekah
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Shadaqatus Sirr (sedekahyang dilakukan sembunyi-sembunyi) memadamkan kemarahan Rabb." (HR. Al-Baihaqidengan sanad sahih)

Memberi Makan Orang Yang Puasa
Rasulullah–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda:"Barangsiapa memberi buka orang yang puasa, ia mendapatkan pahala sepertipahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun." (HR.Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dengan sanad sahih)

Berdzkir Setelah Shalat Subuh Sampai Matahari Terbit lalu Shalat Dua Rakaat
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Barangsiapa shalat Subuh berjamaah kemudianduduk berdzikir kepada Allah sampai Matahai terbit kemudian shalat dua rakaat,hal itu baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna, sempurna, sempurna."(HR. At-Tirmidzi dengan sanad sahih)

Memperbanyak Berdzikir
Abu Hurairah–Radhiallahu 'Anhu meriwayatkan, Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(Tidak ada tuhan yangberhak disembah kecuali Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNyakerajaan dan bagiNya pula segala pujian.Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)Dalam sehari seratus kali, Niscaya ucapannya itu menyamai pahala membebaskansepuluh budak. Juga, ditulis baginya seratus kebaikan dan dihapus darinyaseratus kejelekan. Juga, dalam sehari itu dia dijaga dari setan sampai soreharinya. Tidak ada seorang pun yang mengamalkan sesuatu yang lebih baik darinyaselain seseorang yang mengucapkan lebih banyak darinya." (HR. Bukhari danMuslim)

Jabir –Radhiallahu 'Anhumeriwayatkan, Nabi –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda:"Barangsiapa mengucapkan:
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
(Maha suci Allah dengansegala pujian bagiNya) niscaya ditanamkan baginya sebatang pohon kurma disurga." (HR. At-Tirmidzi dll dengan sanad sahih)

Beliau –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: "Barangsiapa mengucapkan:
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ .
dalamsehari seratus kali, Niscaya dihapus kesalahannya walau sebanyak buih (busa)dilautan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi WaSallam bersabda pula: "Adadua kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan dan mendatangkan cintaAr-Rahman,
سُبْحَانَاللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْم
(Maha suci Allahdengan segala pujian baginya, Maha suci Allah yang Maha agung). (HR. Bukharidan Muslim)

Memperbanyak Istighfar
Allah Ta'ala memujiorang yang melakukan istighfar:"Dan orang-orang yang selalu beristighfarpada waktu sahur (penghujung malam)." (QS. Ali Imraan: 17)

Ibnu Umar –Radhiallahu'Anhuma berkata: "Dalam satu majelis kami menghitung Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam sebanyak seratus kali mengucapkan:

رَبِّ اغْفِرْ لِىْوَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُوْرُ
.(Wahai Rabb, ampuni danterimalah taubat hamba, sesungguhnya Engkau adalah Maha Menerima taubat danMaha Pengampun.)" (HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih)

Bershalawat dan Salam Kepada Nabi Muhammad –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam dan Keluarganya
Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk Nabi.Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlahsalam pernghormatan kepadanya."(QS. Al-Ahzaab: 56)

Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda:"Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali maka Allah bershalawat kepadanyasepuluh kali." (HR. Muslim dll)

Inilah diantara amalan untuk memakmurkan Ramadhan dan masih banyak lagiamal kebaikan lainnya, semoga Allah Ta'ala mempermudah kita untukmengamalkannya, amien.

Read more...

BERBUKA

1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?

Amr bin Maimun Al Audiy: "Para sahabat Muhammad Shallallahu Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur." (Riwayat Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf dengan sanad yang disahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid)


2. Menyegerakan Berbuka

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa ?Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR. Ibnu Hibban dengan sanad sahih)


3. Berbuka Dengan Apa?

Dari Anas bin Malik Radhiallahu anhu berkata: "Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam berbuka dengan beberapa butir ruthab (kurma segar) sebelum shalat (Maghrib), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan beberapa butir tamar (kurma kering), jika tidak ada tamar maka beliau minum dengan beberapa tegukan air." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi dengan sanad sahih.)


4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash Radhiallahu Anhuma, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak." (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Sunni dan Ath-Thayalisi dengan sanad sahih)

Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan:


ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

Telah hilang rasa haus dan urat-urat telah basah serta pahala akan tetap, insya’Allah. (HR. Abu Dawud dengan sanad sahih)

Doa sahabat Abdullah bin Amr Radhiallahu Anhuma ketika berbuka

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ.

Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, supaya Engkau beri ampunan atasku. (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Seseorang diperbolehkan berdoa apa saja yang ia suka dari kebaikan dunia dan akhirat.

5. Memberi Makan Orang Yang Puasa

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi buka orang yang puasa, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun." (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dengan sanad sahih)


Doa tamu kepada orang yang memberikan makanan

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ.

Ya Allah! Berilah berkah apa yang Engkau rezekikan kepada mereka, ampuni dan belas kasihanilah mereka. (HR. Muslim)

Berdoa untuk orang yang memberi makanan dan minuman

اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِيْ وَاسْقِ مَنْ سَقَانِيْ.

Ya Allah! Berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku. (HR. Muslim)

Doa apabila berbuka di rumah orang

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.

Orang-orang yang berpuasa berbuka di sisimu dan semoga orang-orang yang baik memakan makananmu, serta semoga para malaikat memohonkan rahmat untukmu. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasai dengan sanad sahih)

Read more...

صَـلاَةُالتَّراَوِيْحِ

Sayyid Ali Fikri dalam bukunya "Khulashatul Kalam fi Arkanil Islam" halaman 114 menuturkan tentang salat tarawih sebagai berikut:
• Salat tarawih hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang hukumnya mendekati wajib) menurut para Imam Madzhab pada malam-malam bulan Ramadlan. Waktunya adalah setelah salat Isyak sampai terbit fajar; dan disunnahkan salat witir sesudahnya.
• Salat tarawih disunnahkan beristirahat sesudah tiap empat rakaat selama cukup untuk melakukan salat empat rakaat. Jumlah bilangannya adalah 20 rakaat dan setiap dua rakaat satu kali salam. Salat tarawih disunnahkan bagi orang laki-laki dan perempuan.
• Cara melakukan salat tarawih adalah seperti salat subuh, artinya setiap dua rakaat satu salam; tidak sah tanpa membaca Fatihah dan disunnahkan membaca ayat atau surat pada setiap rakaat.
Hikmah salat tarawih adalah untuk menguatkan jiwa, mengistirahatkan dan menyegarkannya guna melakukan ketaatan; dan juga untuk memudahkan mencerna makanan sesudah makan malam. Apabila sesudah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatan; kesegaran jasmaninya menjadi lesu dan rusak.
Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan salat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
"Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin".


Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang.
Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut, maka :
1. Menurut madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali, jumlah salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir.
2. Menurut madzhab Maliki, jumlah salat tarawih adalah 36 (tigapuluh enam) rakaat, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat dengan witir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:
َما كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَـــــنَامُ قَلْبِى . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
"Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?" Beliau bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur."
Syekh Muhammad bin 'Allan dalam kitab "Dalilul Falihin" jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau "qiyamu Ramadlan" hanya ada pada bulan Ramadlan saja.
Ucapan Aisyah "beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya", tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ .
"Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat".
Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ .
"Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat".
Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan "qiyamu Ramadlan" (salat pada malam bulan Ramadlan). Nama "tarawih" diambil dari arti "istirahat" yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.
Almarhum K.H. Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul "Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jamaah" halaman 24 dan 40 menerangkan tentang "Salat Tarawih" yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
• Salat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Salat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.
• Menurut madzhab Syafii dan Hambali, salat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secaran berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.
• Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad saw. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .
"Nabi saw. keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah".
Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensunnahkan salat tarawih dan berjamaah. Akan tetapi beliau tidak melakukan salat dengan para sahabat sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.

Read more...

Ramadhan dan Al-Qur'an...

>> Kamis, 12 Agustus 2010

AllahTa'ala berfirman: "Bulan Ramadhan itulah bulan yang di dalamnyaditurunkan Al-Qur'an yang menjadi petunjuk bagi manusia, dan menjadiketerangan-keterangan dari petunjuk itu dan membedakan antara yang hak dan yangbathil. Maka barang siapa diantara kamu melihat bulan itu hendaklah iaberpuasa." (QS. Al-Baqarah:185)

AllahTa'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah(Al-Qur'an) dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kamianugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itumengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakankepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (QS.Faathir: 29-30)

MembacaAl-Qur'an ada dua macam: Membacalafadnya (hurufnya) saja dan membaca lafadh serta hukumnya dengan mengimaniserta mengamalkan isinya. Yang kedua inilah tujuan di turunkannya Al-Qur'an.

Al-Qur'anmengandung berbagai obat dan kesembuhan bagi hati dan anggota tubuhlainnya dari segala penyakit.
AllahTa'ala berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajarandari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada danpetunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus: 57)
AllahTa'ala berfirman pula: "Dan kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadipenawar (penyembuh) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS.Al-Israa': 82)

AllahTa'ala berfirman pula: "Katakanlah: "Al-Qur'an itu adalah petunjuk danpenawar (penyembuh) bagi orang-orang yang beriman." (QS. Fushshilat: 44)

Barangsiapamempelajari Al-Qur'an dan hatinya menyertainya dengan khusyu', pasti akan mampumemandang kebenaran dan kebatilan, mampu membedakannya seperti ia mampumembedakan antara malam dan siang.

Rasulullah–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Orangyang terbaik diantara kamu adalah yang mempelajari Al-Qur'an danmengajarkannya." (HR. Bukhari dll)

Beliau–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Orangyang membaca Al-Qur'an dengan lancar (dan benar tajwidnya) bersama paramalaikat yang mulia lagi baik, sedang orang yang membaca Al-Qur'antersendat-sendat dan berat (kurang lancar),baginya dua pahala." (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda:"Sesungguhnya orang yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (al-Qur'an)mendapat satu kebaikan dan dilipat gandakan sampai sepuluh kali lipat. Akutidak mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf,Laam satu huruf dan Miim satu huruf." (HR. At-Tirmidzi dengan sanad hasan)

Beliau–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Mengapa salah seorangdari kamu tidak pergi ke masjid lalu mempelajari atau membaca dua ayat darikitab Allah, hal itu lebih baik baginya daripada dua ekor onta, tiga (ayat)lebih baik baginya daripada tiga (ekor onta), empat (ayat) lebih baik baginyadaripada (empat ekor) onta dan sejumlah bilangannya (ayat) (lebih) baik darionta." (HR. At-Tirmidzi. Beliau berkata: Hadis Hasan Sahih)

Beliau–Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "BacalahAl-Qur'an, karena sesungguhya pada hari kiamat nanti ia akan datang untukmemberi syafaat kepada para pembacanya (yang mengamalkan)". (HR. Muslim)

Beliau–Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya ada satu suratdalam Al-Qur'an yang berisi tiga puluh ayat memberi syafaat (pertolongan)kepada seseorang sehingga diampuni (dosa-dosanya), yaitu surat Tabaarak (Al-Mulk)." (HR. ImamAhmad dll dengan sanad hasan)

Dalammembaca Al-Qur'an hendaklah kita tidak terburu-buru dan hanya mengejar khatamsaja, akan tetapi kita meresapi dan merenungkan isi serta kandungannya.Sebagaimana para sahabat Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa'Ala Alihi Wa Sallam, mereka tidak melampaui sepuluh ayat sebelum paham danmengamalkannya.

IbnuAbbas –Radhiallahu 'Anhuma berkata: "Membaca satu surat dengan tartil (denganpenghayatan dan tadabbur) lebih aku sukai dari pada membaca Al-Qur'anseluruhnya (dengan cepat tanpa penghayatan dan tadabbur)."

AllahTa'ala berfirman: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan (mentadabburi)Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?." (QS. Muhammad: 24)

Khabbab–Radhiallahu 'Anhu berkata: "Bertaqarrublah kepada Allah semampumu! Ketahuilahsesuatu yang paling disukai oleh Allah Ta'ala untuk bertaqarrub kepadaNyaadalah kalamNya (membaca Al-Qur'an)."

Utsmanbin Affan –Radhiallahu 'Anhu berkata: "Andaikan hatimu itu bersih, pasti tidakakan pernah kenyang dari kalam Rabb-mu (ingin selalu membaca Al-Qur'an)."

IbnuMas'ud –Radhiallahu 'Anhu berkata: "Barangsiapa ingin mengetahui bahwa ia cintakepada Allah, maka hendaklah mengukur dirinya dengan Al-Qur'an. Jika ia cintakepada Al-Qur'an, berarti cinta kepada Allah, karena Al-Qur'an adalah kalamAllah."

Marilahkita jadikan Ramadhan kita sebagai bulan Al-Qur'an dengan membaca, mempelajaridan mengamalkannya. Semoga kita dapat meraih semua keutamaan tersebut danmendapatkan kesuksesan di dunia dan di akhirat, amien.

Read more...

SEPUTAR SAHUR

Sahur adalah makan pada akhir malam yang merupakan sunnah Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Ketika sahur hendaklah seseorang berniat melaksanakan perintah Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan meniru perbuatannya sehingga sahurnya menjadi ibadah dan berniat pula agar sahur menjadikannya kuat ketika berpuasa supaya mendapat pahala karenanya. (Majalis Syahr Ramadhan, Syaikh Utsaimin hlm 77-78)

1. Hikmahnya.

Dari Amr bin ‘Ash –Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur”. (HR. Muslim)

2. Keutamaannya.

a. Sahur Barokah.

Dari Abdullah bin Al-Harits –Rahimahullah dari seorang sahabat Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berkata: Aku masuk menemui Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam ketika beliau makan sahur, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan padamu maka janganlah kamu tinggalkan”. (HR. Imam Ahmad dan An-Nasa’i dengan sanad sahih)

Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menjadikan seseorang semangat untuk selalu puasa karena merasa ringan, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahli Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur.


b. Allah Ta’ala dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.

Boleh jadi barokah sahur terbesar adalah Allah Ta’ala meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat-malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar memaafkan mereka, agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Said Al-Khudri –Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kamu meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad kuat)

3. Mengakhirkan Sahur.

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan Zaid bin Tsabit –Radhiallahu ‘Anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat Al-Qur’an.

Anas –Radhiallahu ‘Anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit –Radhiallahu ‘Anhu : “Kami makan sahur bersama Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, kemudian beliau shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa lama jarak antara adzan (Subuh) dan sahur? Beliau (Zaid bin Tsabit) menjawab: “Kira-kira membaca lima puluh ayat Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)

(Majalis Syahr Ramadhan, Syaikh Utsaimin dan Shifat Shoum Nabi, Ali Hasan dan Salim Al-Hilali)

Read more...

Niat dan Waktu Puasa

NIAT

Wajibnya Berniat Puasa Sebelum Terbit Fajar Shadiq (Waktu Subuh) Ketika Puasa Wajib:
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar untuk puasa maka tidak ada puasa baginya”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Baihaqi dengan sanad sahih)

Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula: “Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya.” (HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm dengan sanad sahih)

Kewajiban untuk berniat sejak malam itu khusus bagi puasa wajib, karena Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam pernah mendatangi Ibunda ‘Aisyah radhiallahu anha (pada bulan lain) selain bulan Ramadhan, beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berkata: “Apakah engkau mempunyai santapan siang ? Kalau tidak ada aku berpuasa”. (HR. Muslim)


WAKTU PUASA

Waktu puasa adalah dari terbit fajar shadiq (waktu Subuh) sampai terbenam matahari (waktu Maghrib) berdasarkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:

Allah Ta’ala berfirman: “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sengaja mengambil ‘iqal (tali yang dipakai untuk mengikat onta), kemudian mereka letakkan dibawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan dikaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua ‘iqal tersebut (membedakan antara yang putih dari yang hitam).

Dari ‘Adiy bin Hatim –Radhiallahu ‘Anhu berkata : “ketika turun ayat: “…hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” Aku mengambil ‘iqal hitam digabungkan dengan ‘iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, aku terus melihatnya pada waktu malam hingga jelas bagiku (tampak yang putih dari yang hitam). Pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan kuceritakan kepada beliau perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda: “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Umar –Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini, dan telah terbenam matahari, maka berbukalah orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Read more...

HUKUM PUASA RAMADHAN DAN ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA RAMADAHAN DENGAN SENGAJA

>> Jumat, 06 Agustus 2010

HUKUM PUASA RAMADHAN
Puasa pada bulan Ramadhan adalah merupakan salah satu rukun Islam, Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

“…maka barangsiapa diantara kamu melihat bulan itu (Ramadhan), hendaklah ia berpuasa…”

(QS. Al-Baqarah: 183-187).

Dari Abu AbdirRahman Abdullah ibnu Umar ibnul Khaththab –Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Islam dibangun diatas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat Muslim: “…..puasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan haji.”


Kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) bahwa puasa pada bulan Ramadhan hukumnya adalah wajib dan barangsiapa mengingkarinya maka ia kafir.

Puasa Ramadhan ini diwajibkan pada tahun kedua hijriyyah, maka Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sempat berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. (Majalis Syahr Ramadhan, karya Syaikh Utsaimin hlm 21 dan setelahnya).

Setiap orang Islam yang telah baligh lagi berakal maka wajib atasnya berpuasa pada bulan Ramadhan. (Fushul Fi Ash-Shiyam wa At-Tarawih wa Az-Zakah, Ibnu Utsaimin hlm 5).





ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA RAMADAHAN DENGAN SENGAJA

Dari Abu Umamah Al-Bahiliy –Radhiallahu ‘Anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda :

“Ketika aku sedang tidur, datanglah dua orang pria lalu memegang dua lenganku membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata : “Naiklah”.

Aku jawab: “Aku tidak mampu”.

Keduanya berkata: “Kami akan memudahkannya untukmu”.

Lalu akupun naik hingga ketika aku sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya : “Suara apakah ini ?”.

Mereka menjawab: “Ini adalah teriakan penghuni neraka.”

Kemudian keduanya membawaku, maka ketika aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka, aku bertanya: “Siapakah mereka ?”. Dia menjawab : “mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (sebelum tiba waktu berbuka).” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan sanad sahih. Shifat Shoum Nabi, Salim Al-hilali dan Ali Hasan hlm 25)

Read more...

Bagaimana Menyambut Ramadhan?

>> Kamis, 05 Agustus 2010

Agar puasa Ramadhan dapat dikerjakan dengan sempuma dan mendapatkan pahala dari Allah SWT, maka hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1. Mempersiapkan jasmani dan rohani, mental spiritual seperti membersihkan lingkungan, badan, pikiran dan hati dengan memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT dan minta maaf kepada sesama manusia.

2. Menyambut bulan suci Ramadhan dengan rasa senang dan gembira karena akan meraih kebajikan yang berlipat ganda.

3. Meluruskan niat yang tulus ikhlas, hanya ingin mendapat ridha Allah SWT. Karena setan tidak akan mampu mengganggu orang yang tulus ikhlas dalam ibadah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al¬-Hijr ayat 39-40:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. (QS Al-Hijr: 39-40)

4. Berpuasa dengan penuh sabar untuk melatih fisik dan mental, karena kesabaran itu akan mendapat pahala yang sangat banyak. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-¬Zumar: 10)


5. Segera berbuka jika waktunya sudah tiba dan, mengakhirkan makan sahur. Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا أَخَرُّوْا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

Umatku senantiasa berada dalam kebaikan jika mereka menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur. (HR Ahmad).


6. Berdoa waktu berbuka.
Rasulullah SAW selalu berdoa ketika berbuka puasa, dengan membaca doa:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ

Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk¬Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. (HR. Abu Dawud)

ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ اللهُ

Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadi basah, semoga pahala ditetapkan, Insya Allah. (HR Abu Dawud)

7. Berbuka dengan kurma, atau air. Rasulullah SAW bersabda:

كَانَ رَسُوْْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air. (HR Abu Dawud)

8. Bersedekah sebanyak-banyaknya. Karena sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.

9. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghayati dan mengamalkannya, sebagaimana Rasulullah SAW setiap bulan didatangi Malaikat Jibril untuk mengajarkan Al¬Qur'an. Al-Qur'an yang dibaca pada bulan Ramadhan akan memberi syafaat kepada pembacanya kelak di hari kiamat.

10. Meninggalkan kata-kata kotor dan tidak bermanfaat, karena akan menghilangkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فَيْ أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa saja (selagi puasa) tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukan berbuat tidak bermanfaat, maka tidak ada artinya disisi Allah, walau dia tidak makan atau minum. (HR Bukhari)

11. Tidak bermalas-malasan dalam semua aktivitas dengan alasan berpuasa, karena puasa bukan menghambat aktivitas dan produkvitas justru meningkatkan prestasi.

12. I'tikaf di masjid terutama pada 10 hari akhir bulan Ramadhan. Rasulullah SAW membiasakan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi SAW selalu I'tikaf pada 10 hari terakhir bula Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau juga beri’tikaf setelahnya. (HR Bukhari)

13. Memperbanyak ibadah, shalat malam dengan mengajak keluarga untuk ibadah malam.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْياَ لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ

Apabila memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW lebih giat ibadah, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari)

14. Bagi yang mampu dianjurkan untuk Umrah dibulan Ramadhan, karena pahala-nya seperti berhaji.

15. Memperbanyak membaca Tasbih, karena sekali tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari seribu tasbih diluar Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

تَسْبِيْحَةٌ فِيْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ألْفِ تَسْبِيْحَةٍ فِيْ غَيْرِهِ

Sekali membaca tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari 1000 kali tasbih di luar bulan Ramadhan. (HR Tirmidzi)


Hal-Hal yang Makruh Ketika Puasa

Beberapa hal berikut tidak membatalkan puasa tetapi bisa membatalkan puasa jika tidak berhati-hati, yaitu:

1. Berlebihan dalam berkumur dan menghisap air ke hidung ketika wudhu.
2. Berciuman dengan istri, karena dikhawatirkan membangkitkan syahwat.
3. Mencicipi makanan, karena dikhawatirkan akan tertelan.
4. Berbekam (cantuk), dikhawatirkan membuat badan lemah.
5. Memandang istri dengan syahwat.
6. Menggosok gigi dengan berlebihan, dikhawatirkan akan tertelan.
7. Tidur sepanjang hari.

Hal-Hal yang Boleh Dikerjakan Ketika Puasa

Berikut ini boleh dikerjakan oleh orang yang sedang puasa:
1. Bersiwak
2. Berobat dengan obat yang halal dengan syarat tidak memasukkan sesuatu ke dalam lubang-lubang rongga badan, seperti boleh menggunakan jarum suntik asal tidak memasukkan gizi makanan.
3. Memakai minyak wangi, minyak angin atau balsem.
4. Melakukan perjalan jauh, walaupun akan membatalkan puasanya.
5. Mendinginkan badan dengan air ketika udara sangat panas.
6. Memasukkan oksigen.
7. Memasukkan alat-alat kedokteran tapi bukan tujuan mengenyangkan.
8. Menggauli istri pada malam hari, berdasarkan firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari , bulan puasa bercampur dengan isteri-¬isteri kamu... (QS. Al-Baqarah: 187)

Read more...

Puasa Latihan Menundukkan dan Menguasai Hawa Nafsu

>> Selasa, 03 Agustus 2010

Diantara hikmah puasa adalah latihan menundukkan dan menguasai hawa nafsu sehingga benar-benar tunduh dan patuh untuk dikendalikan dan diarahkan menuju kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan. Karena pada dasarnya nafsu selalu mengajak kepada keburukan kecuali yang dirahmati Allah. Isteri Al-Aziz yang menggoda Nabi Yusuf –Alaihis Salam berkata (sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ini adalah ucapan Nabi Yusuf –Alaihis Salam) : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).

Apabila nafsu dilepaskan dan tidak dikendalikan pasti akan menjerumuskan seseorang ke dalam kehinaan, kebinasaan dan kesengsaraan. Namun, apabila dikendalikan dan ditundukkan pasti seseorang akan mampu membawanya menuju derajat dan kedudukan yang tinggi lagi mulia.


“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).“ (QS. An-Naazi’aat: 37-41).

dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (kacau dan sia-sia).“ (QS. Al-Kahfi: 28).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib –Radhiallahu ‘Anhu mengatakan: “Medan pertama yang harus kamu hadapi adalah nafsumu sendiri. Jika kamu menang atasnya maka terhadap yang lainnya kamu lebih menang. Dan jika kamu kalah dengannya maka terhadap yang lainnya kamu lebih kalah. Karena itu, cobalah kamu berjuang melawannya dahulu.”

Seseorang meminta nasehat kepada orang saleh: “Berilah aku nasehat”. Orang saleh tersebut menjawab: “Nafsumu! Jika kamu tidak menyibukkannya dengan yang positif pasti dia akan menyibukkan kamu dengan yang negatif.”

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP