Puasa dan Tahap-tahap Pertumbuhan Mental

>> Sabtu, 14 Agustus 2010

Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahjimakumullah
الحمد لله الذ ى ارسل رسوله بالهدى ود ين الحق ليظهره على الدين كله. ارسله بشيرا ونظيرا ودا عيا الى الله با ذنه وسرا جا منيرا. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له شها دة اعدها للقا ئه ذخرا . واشهد ان محمدا عبده ورسوله ارفع البر ية قد را. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله واصحا به ومن تبعهم باحسان الى يوم الد ين وسلم تسليما كثيرا. اما بعد ,أعو ذبالله من الشيطا ن الرجيم بسْمِ اللّهِ الرَّحمْنِ الرَّحيمِ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ أما بعد فيا عباد الله أوصيكنم ونفسى بتقوى الله فقد فاز المتقون

Pada saat Al-Qur’an, memaklumatkan kewajiban puasa kepada orang-orang beriman di dalam surah Al-Baqarah ayat 183, disitu dijelaskan pula atas orang-orang atau umat-umat sebelumnya. Isyarat yang paling jelas dalam kandungan makna ayat tersebut adalah bahwa puasa bukan ibadah ritual yang menjadi ciri khas umat nabi Muhammad SAW belaka, puasa hampir bisa ditemukan di setiap tempat, setiap budaya, setiap umat. Tetapi tentu saja dengan dengan perbedaan tempo dan tata cara. Tetapi dengan maksud dan tujuan yang hampir sama; yaitu membina dan mengarahkan pertumbuhan mental, menapaki jalan-jalan spritual untuk membebaskan jiwa dari jeratan dunia daging.
Maryam misalnya, melakukan puasa bicara di detik-detik menjelang melahirkan anaknya Nabi Isa AS, yang tidak punya ayah. Coba bayangkan seorang wanita belia hamil tanpa suami lalu semua orang menuduhnya dengan kata-kata keji dan nista. Betapa terguncangnya ia secara fisik dan mental pada saat itu. Tetapi puasa memberinya ketenangan bathin sekaligus jalan di saat-saat kritis seperti itu. Ia sukses, Nabiyullah Isa AS akhirnya lahir dengan tanda-tanda kebesaran Allah.


Kebiasaan Maryam akhirnya ditularkan kepada anaknya, Nabiyullah Isa As, berpuasa selama 40 hari saat setan datang menawarkan kepadanya kemasyhuran dan kekuasaan. Ia menolak kekayaan demi mempertahankan kekayaan. Ia menolak kekuasaan agar tetap berkuasa, Ia memilih mengurusi orang lain supaya dirinya tetap terurusi, Ia menghidupkan orang mati agar dirinya tidak mati. Dan memang benar Ia sampai sekarang masih terus hidup, paling tidak di benak kaum Muslim dan Nasrani. Nabiyullah Musa As berpuasa 40 hari ketika berada di gunung Tursina ketika akan menerima kata-kata suci : sepuluh perintah Allah. Sesuatu yang suci hanya akan bisa keluar dari tempat dan sikap yang suci pula dan masih banyak Nabi-nabi yang melakukan puasa sebagai sebuah jalan dalam menggapai keinginan mulia.


Ma’asyiral Jum’ah Rahimakumullah
Puasa tidak hanya pernah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul semata, orang Indian misalnya mereka telah lama melakukan puasa sebagai alat penolak bala, kalau mereka ingin menghindarkan kampung halaman dan masyarakatnya dari penyakit, bencana alam dan perang, kepala suku mereka memerintahkan mereka ramai-ramai untuk melakukan puasa. Puasa juga mereka laksanakan untuk sebagai wahana pertobatan atas segala kesalahan yang telah mereka perbuat. Socrates dan muridnya Plato, kedua filsuf ini biasanya berpuasa sepuluh hari untuk meningkatkan kesehatan fisik dan jiwanya. Boleh jadi karena kebiasaannya berpuasa sehingga mereka begitu cerdas dan futuristik.
Hippocrates adalah seorang dokter Yunani yang sangat terkenal pada zamannya. Di zaman ketika farmasi belum semaju seperti sekarang, apa yang paling sering diresepkan kepada pasiennya agar cepat sembuh dan sehat? Jawabannya ternyata puasa. Pendek kata ritual puasa dapat ditemukan pada hampir semua kebudayaan lama. Saat Columbus mendaratkan kapal petualangannya di Benua Amerika, iapun menemukan beberapa suku di Peru yang menjadikan puasa sebagai salah satu dari sekian syarat pengampunan dosa. Bahkan kebiasaan puasa ini bukan hanya kita temukan sebagai sebuah Kredo (Kepercayaan) bagi manusia-entah berdasarkan ajaran agama atau sekedar mitos, tapi juga sebagai naluri yang hidup di beberapa jenis hewan. Ikan Salmon umpamanya, berpuasa beberapa minggu lamanya berenang ke hulu sejauh beberapa mil untuk bertelur. Ratu semut menjalani mogok makan demi menunggui telurnya yang akan menetas. Dan banyak lagi contoh hewan yang memiliki kebiasaaan seperti itu.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Hal ini semuanya kian memperkuat dugaan bahwa puasa, selain bersifat syar’I (perintah agama) juga bersifat tabi’I (sesuai dengan bawaaan alamiah), insani (sesuai dengan hasrat intelek manusia), dan Jama’i (sesuai dengan hasrat sosial). Maka saat kita menjalankan puasa, selain menggugurkan kewajiban keagamaan kita, kita juga telah mengadaptasikan sifat alamiah dan ritme tubuh kita, sehingga lebih kondusif untuk lebih cerdas, juga berperan serta dalam memperkuat solidaritas sosial dimana kita tinggal, tentu saja dengan catatan puasa itu dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan penghayatan.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Puasa adalah suatu metode yang berangkat dari asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia itu muncul secara bersamaan dan karenanya harus pula dipenuhi secara simultan. Maka dalam pelaksanaan ibadah puasa, keempat kebutuhan itu terasa diakomodasi secara serempak, yang tadi dikatakan bersifat syar’I, tabi’I, insani dan jama’i. Puasa, dengan demikian dalam dirinya sudah bersifat egaliter. Tanpa memungkiri bahwa perkembangan kualitas mental manusia memang berjenjang, berkembang dari suatu maqam (tahap) ke maqam berikutnya. Tahapan-tahapan seperti ini disebut maqamât. Setiap maqam memiliki keadaannya masing-masing yang disebut hal. Keadaan-keadaan pada masing-masing maqam itulah yang disebut ahwal. Tetapi perjenjangan itu bukan berdasarkan kemampuan material, melainkan berdasarkan nawaitu (niat), mujahadah (perjuangan), dan istiqomah (kesabaran dan konsistensi). Itu sebabnya semua orang, tanpa melihat status sosialnya, bisa menapaki jenjang demi jenjang itu. Karena ketiga syarat tadi (nawaitu, mujahadah, dan istiqomah) bisa dimiliki oleh siapa saja.

Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Puasa melatih dan mengajarkan kita untuk bergerak secara simultan dan bergerak dari keadaan yang kurang baik ke keadaan yang lebih baik. Maka kalau kita berpuasa secara benar dan sungguh-sungguh, niscaya kita akan bergerak secara vertikal dari nafs amarah kepada nafs lawwamah lalu ke nafs marhaman sehingga akan mencapai posisi puncak yaitu nafs muthmainnah. Atau kita akan bergerak dari suatu modus kehidupan kepada modus kehidupan berikutnya. Dari modus menang ke modus senang, lalu ke modus aman, hingga ke modus yang lebih tinggi yaitu ketenangan lahir dan batin.
Pada bulan yang penuh hikmah dan kemuliaan ini, sudah seyogyanya kita lebih intensif meningkatkan ibadah kita baik yang mahdoh maupun yang sunnah, paling tidak dengan puasa kita dapat berpindah dari kebiasaan yang kurang baik kepada kebiasaan yang lebih bermanfaat dan membawa kemashlahatan. Manfaatkanlah bulan suci ini dengan sebaik-baiknya karena Allahlah yang langsung menilai dan yang memberikan ganjaran-Nya tanpa perantara, sungguh amat istimewa dan teristimewa kemuliaan dan keutamaan puasa pada bulan ramadhan.
Bagi Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh, bulan puasa bukan Cuma sekedar bulan menahan diri untuk tidak makan, tidak minum,tidak campur dengan istri. Hal ini sangat dangkal nilainya, karena puasa adalah menghentikan hasrat yang bertentangan dengan hasrat Ilahi. Inilah sebabnya grafik amalan-amalan Nabi dan para sahabatnya terus menanjak dari hari ke hari pada bulan suci ramadhan: I’tikaf (tinggal di mesjid sambil beribadah), ikat pinggangnya dikencangkan, betisnya bengkak-bengkak, matanya sembab mengingat Sang kekasih. Mereka tidak menyia-nyiakan momen yang sangat berharga dan hanya datang sekali setahun-dan belum tentu ditemui kembali di tahun berikutnya-itu hanya untuk kegiatan yang tidak bersifat substansial. (tidak mensubstansikan kegiatan –yang sebetulnya tidak substansial-dengan melakukan rasionalisasi karena itu namanya mencundangi diri sendiri. Peningkatan kualitas mental dan kedekatan diri kepada Allah, merupakan output dari bulan puasa, kita hendaknya mampu menyemangati, mempengaruhi, dan mewarnai perjalanan hidup kita minimal sebelas bulan berikutnya. Sehingga persis ketika kualitas mental mendekati titik nol kembali, kita telah memasuki upgrading (peningkatan) lagi. Itu target minimalnya. ibarat kalau kita tidak mengisi BBM kendaraan untuk bepergian seharian, maka minimal kita pastikan kendaraan kita sampai pada pom bensin berikutnya, pada saat bahan bakarnya habis.
Ma’asyiral Jum’ah dan Shâimîn Rahimakumullah
Mudah-mudahan kita tergolong hamba Allah yang mukmin sebagaimana yang diserukan dalam surah al-Baqarah ayat 183, yang pantas dan mampu melaksanakan ibadah puasa, tidak hanya pada dataran meramaikan tetapi lebih pada dataran menghidupkan bulan suci ini, sehingga puasa kita tidak hanya berakhir dengan takbiran dan shalat ‘ied saja, atau berakhir dengan pulang kampung semata, atau eforia sebentar kemudian kembali kepada kebiasaan jelek semula, akan tetapi dapat menjadi hamba Allah yang senantiasa terus istiqomah dan konsisten dalam menjalankan syariat Allah pada sebelas bulan berikutnya. Amin.
بَارَكَ اللّهُ لِى وَ لَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِ يَّا كُمْ ِبمَا فِيْهِ مِنَ الآ يآتِ وَالذِّكْر الحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلآوَتَهُ إِ َنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلَعلِيمُ,أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الُمْسلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP