Antara Nasehat dan Keihklasan

>> Kamis, 21 Mei 2009

Nasehat merupakan amalan yang penting dalam Islam, bahkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mengatakan bahwa "dien itu adalah nasehat"[1], dan beliau memberikan syarat kepada Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhu ketika memba'iatnya di antaranya "memberikan nasehat kepada setiap muslim"[2]. Oleh karena itu, seorang pemberi nasehat harus membersihkan niatnya dari segala ketamakan dunia dan keinginan mendapatkan pujian manusia dan maksud buruk lainnya.

Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menampakkan ucapan dan perbuatannya kepada manusia perbuatan yang baik, tetapi ia mempunyai maksud mencapai tujuan yang buruk, lalu dipuji oleh manusia disebabkan perbuatan baik yang ia tampakkan padahal mempunyai tujuan yang buruk, lalu dia gembira dengan pujian manusia, maka orang tersebut diancam oleh Allah Ta'ala dengan adzab yang sangat pedih.

Allah berfirman yang artinya: "Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." [Ali Imran 188]


Al Imam Ibnu Rajab memberikan contoh, "Bahwa seseorang menghendaki mencela seorang yang lain dan merendahkannya serta menampakkan aibnya agar manusia menjauhi orang tersebut entah disebabkan adanya permusuhan antara keduanya sehingga ia senang menyakitinya atau karena takut tersaingi dalam hal harta atau kepemimpinan atau dikarenakan sebab-sebab tercela lainnya, maka tidak ada jalan lain untuk mencapai maksudnya, kecuali dengan menampakkan celaan terhadap orang tadi dengan alasan dien, seperti: Ada seorang yang membantah satu pendapat yang lemah dari sekian banyak pendapat-pendapat yang benar dari seorang ulama yang masyhur, maka ada seorang yang mengisukan kepada para pengagum seorang alim bahwa si fulan membenci si 'alim ini dan mencela serta mencaci makinya, sehingga menimbulkan kemarahan setiap orang yang mengaguminya dan orang yang membuat isu tadi mempengaruhi mereka dengan membuat opini umum bahwa benci kepada si pengkritik termasuk amal kebaikan, karena dalam rangka membela ulama dan membersihkan nama baiknya, maka yang demikian termasuk taqarub kepada Allah Subhana wa Ta'ala dan menjalankan ketaatan kepada-Nya, maka berkumpulah dua hal yang haram dan buruk pada perbuatan yang nampaknya sebagai nasehat.

Yang pertama, tuduhan bahwa kritikan terhadap ulama tadi dikatakan sebagai kebencian dan mengikuti hawa nafsu, padahal bisa jadi si pengkritik menginginkan nasehat kepada kaum mu'minin dan menyampaikan ilmu yang tidak boleh disembunyikannya.

Yang kedua, dengan menyampaikan celaan kepada si pengkritik seolah- olah celaan tersebut dalam rangka memberi nasehat dan membela ulama syariat, padahal dalam rangka mencapai tujuan buruknya dan memuaskan hawa nafsunya." Sampai ia berkata: Barangsiapa ditimpa dengan makar seperti ini, maka bertaqwalah kepada Allah, memohon pertolonganNya dan bersabarlah, karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang bertaqwa."[3]

Dalam halaman sebelumnya, beliau (Imam Ibnu Rajab) juga menjelaskan: "Sedangkan menjelaskan kesalahan dari kesalahan-kesalahan ulama sebelumnya, apabila ia memakai adab dalam penyampaian, dan membantah serta menjawab dengan sebaik-baiknya, maka hal tersebut tidaklah mengapa dan ia tidak tercela, meskipun bantahan itu keluar disebabkan kebanggaan dengan pendapatnya (yang diyakininya sebagai kebenaran, pent), hal ini tidak mengapa pula. Dan sebagian orang-orang salaf apabila mengingkari seseorang atas pendapatnya ia mengatakan, " Si fulan telah berdusta" dan termasuk di antaranya adalah ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , yang artinya : "Abu As Sanabil telah berdusta," ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abu As Sanabil berfatwa tentang iddah sesorang wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya tidak cukup sampai melahirkan, melainkan harus menunggu sampai empat bulan sepuluh hari. Begitu pula para ulama yang terkenal wara'nya kadang-kadang sangat keras dalam mengingkari pendapat-pendapat lemah yang dipegangi oleh sebagian ulama dan membantahnya dengan sekeras-kerasnya, sebagaimana Imam Ahmad (164-241 H) mengingkari Abu Tsaur (...-240 H) dan selainnya dalam pendapat-pendapat yang lemah dan menyendiri, beliau membantah mereka dengan sangat kerasnya, ini semuanya hukum dzahir, yaitu yang nampak.

Sedangkan di balik itu, apabila maksudnya semata-mata menjelaskan kebenaran, dan agar manusia tidak tertipu dengan pendapat-pendapat yang salah, maka tidak ragu lagi bahwa dia mendapatkan pahala atas maksud baiknya, dan perbuatannya tersebut dengan niat tadi dikategorikan kedalam nasehat kepada kitabNya, RasulNya dan para penguasa kaum muslimin serta kaum muslimin pada umunya. Baik yang menjelaskan kesalahan itu anak kecil atau orang dewasa."[4] Sampai beliau (Imam Ibnu Rajab) berkata : "Sedangkan kalau tujuan dari si pengkritik itu untuk menampakkan kekurangan orang yang dikritiknya, merendahkan, menjelaskan kebodohan dan kekurangannya dalam hal ilmu dan yang semisalnya maka hal itu haram hukumnya. Baik ia mengkritik dihadapan orangnya atau dibelakangnya, baik dimasa hidupnya atau setelah meninggalnya, dan perbuatan ini termasuk yang dicela oleh Allah dan Allah mengancam setiap pengumpat lagi pencela dalam kitabNya, dan dia termasuk sebagai orang yang dikatakan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam : "Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian menari-cari kekurangan-kekurangan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari kekurangan-kekurangan mereka maka kelak Allah akan menyingkapkan kekurangan dia maka Dia akan membiarkan orang lain tahu aibnya, meskipun di dalam rumahnya." [H.R.Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi juz 6/180), dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-Jami'us Shaghir no.7985 dan shahih Tirmidzi no.1655.]5)

Dan ini semuanya berkenaan dengan hak ulama teladan dalam dien ini. Sedangkan ahli bid'ah dan orang-orang sesat, serta orang yang lagaknya seperti ulama padahal bukan dari mereka, maka boleh untuk menjelaskan kebodohan mereka dan menampakkan aib-aib mereka dalam rangka memberi peringatan (kepada kaum muslimin) agar tidak meneladani mereka dan pembicaraan kita sekarang, bukanlah mengenai mereka ini, Wallahu A'lam." [6]

Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya syetan itu amat perhatian untuk merusak amal-amal kita di antaranya dengan cara memalingkan kita dari keikhlasan.

Imam Nawawi rahimahullah ketika sedang menjelaskan apa-apa yang diperbolehkan dari berbuat ghibah di antaranya mengatakan, "Dan di antaranya apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majlis ahli bid'ah, atau orang yang fasik, untuk menimba ilmu, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid'ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata bermaksud memberi nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Dan kadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad. Ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat."[7]

[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz]

Foote Note

[1]. H.R. Muslim ( Syarah Shahih Muslim juz 2, hal.32, no.55)
[2]. H.R. Bukhori, kitab Al-Iman no.57,58)
[3]. Al Farqu baina An Nasehat wa At Ta'yiir, hal. 34-38
[4]. Ibid, hal. 22-24
[5]. Hanya saja yang dibawakan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah beliau meriwayatkannya dengan makna, adapun persisnya adalah: "Wahai orang yang Islam dengan lisannya dan belum sempurna sampai ke hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian memburuk-burukkan mereka, serta janganlah kalian mencari-cari kekurangan-kekurangan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka kelak Allah akan menyingkapkan kekurangan dia (di akhirat), dan barangsiapa yang Allah singkapkan kekurangan dia (di akhirat) maka Dia akan membiarkan orang lain tahu aibnya, meskipun di dalamrumahnya." [Lihat Tuhfatul Ahwadzi, juz 6 hal 180, pent]
[6]. Ibid, hal.25-26
[7]. Riyadhus Shalihin, hal 526

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP