HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN

>> Rabu, 13 Mei 2009

A. HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi politik kelompok dan pengikutnya. Dalam analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Rasyid (1994) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum. Dia menulis sebagai berikut:

Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa madrasah merupakan salah satu lembaga yang menjadi corong pesan-pesan politik, sebagai contoh madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Hal ini dapat dipahami, bahwa madrasah Nizhamiyah merupakan instrumen kebijakan politik yang salah satu fungsi utamanya adalah untuk menanamkan doktrin kenegaraan yang memperkuat kerajaan. Pada masa itu, perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-intitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka, sebab tujuan pemerintahan Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah 'menegakkan kebenaran dan keadilan, dengan syariat sebagai senjata. Syariat tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam'.
Ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam'i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan-kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan, menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan. Jadi pada masa kesultanan dan kerajaan Islam terdahulu, pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah. Pendidikan umum sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementrian Pendidikan, sedangkan pendidikan Agama berada dalam naungan Kementrian Agama. Beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda, yaitu: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, antara lain: (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa mempedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi. Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Akan tetapi, pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akan lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita, misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.
B. PERANAN POLITIK DALAM PENDIDIKAN
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Di Indonesia, filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Abernethy dan Coombe (1965:287) menulis sebagai berikut:
A goverment's education policy reflects, and sometimes betray, its view of society or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is essentially part of the political process, as are the demands made on government by the public for its revision (kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik pemerintah untuk melakukan perubahan)
Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikann para stakeholder pendidikan terutama orangtua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya. Sedang empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan sikap.
Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara tersebut terjadi lebih intens. Abernethy dan Coombe (1965: 287) mengamati hal-hal berikut ini.
Secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-negara berkembang dan perubahan-perubahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan.
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal, pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern dalam keruntuhan kolonialisme.
Hubungan dan peran politik dalam pendidikan terwujud ke dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial politik di mana hubungan itu terjadi. Misalnya, dalam masyarakat yang lebih primitif, yang berdasarkan pada basis kesukuan (tribal-based societes), adalah lazim bagi orangtua dari satu suku memainkan dua peran, sebagai pemimpin politik dan sebagai pendidik. Mereka membuat keputusan-keputusan penting dan memastikan bahwa keputusan-keputusan ini diimplementasikan dan diterapkan. Mereka juga mempersiapkan generasi muda untuk memasuki kehidupan dewasa dengan mengajarkan mereka teknik-teknik berburu dan mencari ikan, metode-metode berperang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga menanamkan pada generasi muda mereka kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi, dan mempersiapkan mereka untuk berperan secara politis.
Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai-nilai dari lembaga Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik umumnya sama dengan pola hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Ada satu perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik, dan dalam proses rekruitmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru.
Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.serta telah menjadi sektor wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Sebagai wilayah pemerintah, pendidikan sering 'dipaksa' menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma yang berlaku.
Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannya tentang masyarakat dan keyakinan politiknya. Masing-masing pemerintah menempatkan prioritas pendidikan yang berbeda-beda, dan menyukai kebijakan-kebijakan yang merefleksikan pandangan dasar dan kepentingan-kepentingan mereka. Dari waktu ke waktu pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik. Keputusan-keputusan tentang pendidikan sring dipengaruhi oleh faktor-faktor keuangan pemerintah.
Jika politik dipahami sebagai 'praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial' (Harman, 1974: 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnispolitik
Adalah menurut para pakar pendidikan banyak yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.
Pertanyaan mengenai Politik dalam Pendidikan
•Namun apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ?
•Tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumberdaya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif ?
•Bagaimana kalau justru penuh pretense yang muaranya adalah vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok?
•Bisakah politik dan pendidikan dilepaskan?
•Apakah para pembuat kebijakan dan politisi di Indonesia sudah memihak pada masyarakat bawah/masyarakat miskin?
C. FUNGSI POLITIK DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot (1959: 1046) menulis sebagai berikut:
Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektifitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi.pola institusional pendidiikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya).
Elliot (1959: 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum,misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama: pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Ketiga,aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik.
Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut Massialas (1969: 18-79 dan 155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatus sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatuf (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara Komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.
Dari generasi ke generasi negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam menemukan arah perubahan politik.
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik.Pada masa Orde Baru, ada kasus pelarangan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rencana keluarga Bung Karno untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta. Pertentangan politik antara rezim Orde Baru dengan keluarga Bung Karno ternyata terbawa ke dalam wilayah kebijakan pendidikan.
Era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi menjadi desentralisasi. Jika selama Orde Baru otoritas pendidikan di kabupaten dan kota hanya merupakan perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maka pada era reformasi otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menata sistem pendidikan masing-masing.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang pada tanggal 15 Oktober 2004 direvisi dan secara resmi digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Untuk menunjang otonomisasi, sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya merupakan unit pelaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini diharapkan lebih memiliki kemampuan self-sufficient dan self-fulfilment. Inilah salah satu alasan mengapa sejak 1998 pihak Departemen Pendidikan Nasional telah menjalankan pilot project penerapan school based management di sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. Dan sebagai usaha mendongkrak daya saing sumber daya manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curiculum dan memberlakukan competency based curriculum. Untuk memacu partisipasi para stakeholder pendidikan, pihak Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based education. Saat ini di sekolah-sekolah telah dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan perwakilan dari para stakeholder. Untuk men-back up pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dalam mendisain dan mengembangkan program-program pendidikan, maka di beberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari pakarpendidikanyangadadidaerah.
D. PENUTUP/KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas tadi bahwa pendidikan tidak dimaknai sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan (memanusiakan manusia) tetapi lebih cenderung diarahkan pada bisnis politik. Seperti kebijakan beberapa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), akhirnya PTN mempunyai otoritas penuh untuk mengembangkan pendidikan secara mandiri tanpa subsidi dari pemerintah, da juga maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan.
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik.
Di negara totaliter Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara Komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.
Jadi pengaruh politik didalam dunia pendidikan sangatlah kuat, karena para pengambil kebijakan di bidang pendidikan tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apapun untuk menjadikan dunia pendidikan bersih dari praktik-praktik bisnis politik.



DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Harman, G. 1980. Reassesing research in the politics of education. In Education Research and Perspective (The Governance of EEducation). Department of Education, University of Western Australia.s
Ornstein, C. Allan, Levine, U. Daniel, 1989. Foundation of Education. Fourth Edition. USA: Houghton Mifflin Company, Boston.
Abdurrasyid. 1994. Madrasah Nizhamiyah Studi tentang Hubungan Pendidikan Islam dan Politik. Thesis Magister Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sirozi, Muhammad, 2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. INIS, Jakarta- Leiden.
-------, 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Buchori, Muchtar, 2006. Perilaku Politik, Budaya Politik, dan Pendidikan. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/17/opini/2643628.htm, diakses 28 November2007)

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP