ENGKAU DAN HAWA NAFSU

>> Rabu, 20 Mei 2009

Seorang muslim hendaknya merenungkan mengenai diri dan hawa nafsunya. Andaikan sampai berita kepada Anda bahwa seseorang telah mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian orang lain mencaci maki Nabi Daud ‘alaihissalam. Sedangkan orang yang ketiga mencaci maki Umar atau Ali radhiyallahu ‘anhuma. Dan yang keempat mencaci maki guru Anda. Sementara orang yang kelima, mencaci maki guru orang lain.

Apakah amarah dan usaha Anda untuk memberikan hukuman dan pelajaran kepada mereka telah sesuai dengan ketentuan syari’at? Yakni apakah kemarahan Anda kepada orang pertama dan kedua hampir sama kadarnya, namun lebih dahsyat jika dibandingkan kepada yang lainnya? Apakah kemarahan Anda kepada orang yang ketiga lebih ringan kadarnya dibandingkan dua orang yang pertama namun lebih keras dibandingan dua sisanya? Apakah kemarahan Anda kepada orang yang keempat dan kelima hampir sama kadarnya, namun jauh lebih lunak dibandingkan dengan yang sebelumnya?

Misalkan pula Anda membaca sebuah ayat, kemudian nampak bagi Anda bahwa ayat tersebut sesuai dengan pendapat imam anda. Kemudian anda mendapati ayat lain dan nampak oleh anda dari ayat tersebut bahwa ia menyalahi ucapan yang lain dari imam anda tersebut. Apakah penilaian anda mengenai keduanya sama? Yaitu anda tidak akan peduli untuk mencari kejelasan dari dua ayat tersebut dengan mengkajinya secara seksama agar menjadi jelas benar atau tidaknya atas pemahaman anda tadi dengan cara membaca sepintas?

Misalkan pula anda mendapatkan dua hadits yang tidak anda ketahu shahih atau dho’ifnya. Salah satunya sesuai dengan pendapat imam anda sedangkan yang satunya lagi menyalahinya. Apakah pandangan anda terhadap dua hadits tersebut sama tanpa anda peduli (untuk mengetahui secara ilmiyyah) apakah kedua hadits tersebut shahih atau dho’if?

Misalkan pula anda memperhatikan suatu masalah yang imam anda mempunyai suatu pendapat tentangnya, dan (ulama) lain menyalahi pendapat tersebut. Apakah hawa nafsu anda yang lebih berperanan dalam melakukan tarjih salah satu dari dua pendapat tadi? Ataukah anda menelitinya supaya anda dapat mengetahui mana yang rajih (lebih kuat) dari keduanya dan anda dapat menjelaskan kerajihannya tersebut.

Misalkan pula ada seseorang yang anda cintai dan yang lain anda benci. Keduanya berselisih dalam suatu masalah. Kemudian anda dimintai pendapat tentang perselisihan tersebut. Padahal (anda tidak mengetahui duduk persoalannnya sehingga) anda tidak mungkin dapat menghukuminya. Ketika anda meneliti permasalahan tersebut, apakah hawa nafsu anda yang berperan sehingga lebih memihak orang yang anda cintai?

Misalkan pula ada seseorang yang anda cintai dan yang lain anda benci. Keduanya berselisih dalam suatu masalah. Kemudian anda dimintai pendapat tentang perselisihan tersebut. Padahal (anda tidak mengetahui duduk persoalannnya sehingga) anda tidak mungkin dapat menghukuminya. Ketika anda meneliti permasalahan tersebut, apakah hawa nafsu anda yang berperan sehingga lebih memihak orang yang anda cintai?

Misalkan pula anda mengetahui seseorang berbuat kemungaran dan anda berhalangan untuk mencegahnya. Kemudian sampai kepada anda bahwa ada seorang ahli ilmu yang mengingkari orang tersebut dengan sangat kerasnya. Maka apakah anggapan baik anda akan sama apabila yang mengingkari itu teman anda atau musuh anda, begitu pula apabila orang yang diingkarinya itu teman anda atau musuh anda?

Periksalah diri anda! Anda akan dapatkan diri anda sendiri ditimpa musibah dengan perbuatan maksiat atau kekurangan dalam hal Dien. Juga engkau dapati orang yang anda benci ditimpa musibah dengan melakukan kemaksiatan pula dan kekurangan lainnya dalam syari’at yang tidak lebih berat dari maksiat yang menimpamu. Maka apakah engkau dapati kebenciannmu kepada orang tersebut (disebabkan maksiat atau kekuarangan dalam syari’at) sama dengan kebencianmu kepada dirimu sendiri? Dan apakah engkau dapati kemarahannmu kepada dirimu sendiri sama dengan kemarahanmu kepadanya?

Pintu-pintu hawa nafsu tidak terhitung banyaknya. Saya mempunyai pengalaman pribadi ketika saya memperhatikan suatu permasalahan yang saya anggap bahwa hawa nafsu saya tidak ikut tercampur dalam masalah tersebut. Saya mendapatkan satu pengertian dalam masalah tersebut, maka saya menetapkannya dengan satu ketetapan yang saya anggap baik. Kemudian setelah itu saya melihat sesuatu yang membuat cacat ketetapan tadi. Lalu saya gigih mempertahankan kesalahan tadi dan jiwaku menyuruhku untuk memberikan pembelaan dan menutup mata, serta menolak untuk mengadakan penelitian lebih lanjut secara mendalam.. Hal ini dikarenakan ketika saya menetapkan pengertian pertama yang saya kagumi itu, hawa nafsu saya condong untuk membenarkannya. Padahal belum ada satu orangpun yang mengetahui hal ini. Maka bagaimana seandainya hal tersebut sudah saya sebarluaskan kepada khalayak ramai, kemudian setelah itu tampak bagiku bahwa pengertian tersebut salah? Maka bagaimana pula apabila kesalahan tersebut bukan saya sendiri yang mengetahuinya melainkan orang lain yang mengkritikku? Maka bagaimana pula jika orang yang mengkritikku adalah orang yang aku benci?

Hal ini bukan berarti bahwa seorang ulama/penuntut ilmu dituntut untuk tidak mempunyai hawa nafsu karena hal ini diluar kemampuannya. Tapi kewajiban seorang ulama/penuntut ilmu adalah mengoreksi diri dan hawa nafsunya supaya dia mengetahui kemudian mengekangnya dan memperhatikan dengan seksama dalam hal kebenaran sebagai suatu kebenaran. Apabila jelas baginya bahwa kebenaran tersebut menyelisihi hawa nafsunya, maka dia harus mengutamakan kebenaran daripada mengikuti hawa nafsunya.

Seorang alim terkadang lalai dalam mengawasi hawa nafsunya. Ia bersikap toleran sehingga dirinya condong kepada kebatilan dan membela kebatilan tersebut. Dia menyangka bahwa dirinya belum menyimpang dari kebenaran. Dia menyangka pula bahwa dirinya tidak sedang memusuhi kebenaran. Tidak ada orang yang selamat dari perbuatan ini kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Hanya saja para ulama bertingkat-tingkat dalam sikapnya terhadap hawa nafsu. Diantara mereka ada yang sering terbawa arus hawa nafsunya sampai melampaui batas sehingga orang yang tidak mengetahui tabiat manusia dan pengaruh hawa nafsu yang demikian besar menyangka bahwa ulama tadi melakukan kesalahan yang fatal dengan sengaja. Diantara ulama juga ada yang dapat mengekang hawa nafsunya sehingga jarang sekali mengikuti hawa nafsunya.

Oleh sebab itu barangsiapa sering membaca buku-buku dari penulis yang sama sekali tidak menyandarkan ijthad mereka kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dia akan banyak mendapatkan keanehan. Hal ini tidak mudah diketahui kecuali oleh orang-orang yang hawa nafsunya tidak condong kepada buku-buku tersebut, yaitu orang yang condong kepada kebenaran yang bertentangan dengan buku-buku tersebut. Kalau hawa nafsunya cenderung kepada buku-buku tersebut dan sudah dikuasai hawa nafsunya, maka dia menyangka bahwa orang-orang yang sependapat dengannya itu terbebas dari mengikuti hawa nafsu, sedangkan orang-orang yang bertentangan dengannya adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.

Orang-orang terdahulu ada yang berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia terjerumus ke dalam kesalahan pada sisi yang lain. Seperti seorang hakim yang mengadili dua orang yang berselisih. Orang pertama adalah saudara kandungnya sedangkan yang kedua adalah musuhnya. Ia berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia menzholimi saudara kandungnya sendiri. Ia seperti orang yang berjalan di tepi jurang yang curam di kanan kirinya, berusaha menghindari jurang yang disebelah kanan namun berlebihan sehingga ia terjatuh ke dalam jurang yang di sebelah kirinya.

(Dinukil dari buku "Fikih Nasehat" Oleh: Fariq Gasim Anuz)

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP