Politik dalam Perspektif Kaum Sufi

>> Jumat, 29 Mei 2009

Perspketif kaum sufi tentang politik akan menjadi jelas manakala dasar dari perspektifnya itu diketahui. Dasarnya itu adalah pandangan kaum sufi tentang dunia ini atau hakekat kehidupan di dunia ini. Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana tercantum dalan Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 6: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya beribadah/menyembah-Ku” (Depag,1986). Menurut Syekh Abdul Qodir Al-Jailani (1996:17) yang dimaksud dengan beribadah diatas adalah ma’rifat. Ma’rifat berarti mengenal/mengetahui. Jadi maksud diciptakannya manusia itu atau hakikat kehidupan manusia itu adalah untuk mengenal Allah sebenar-benarnya.

Oleh karena itu, segala perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya (termasuk politik) harus diorientasikan untuk itu. Karena ma’rifat itu merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini, maka itu artinya bagi kaum sufi ma’rifat itu merupakan pula kebahagiaan atau “kepentingan” yang tertinggi yang harus diperjuangkan melalui berbagai aspek kehidupannya. Artinya bahwa kesejahteraan, kemakmuran bersama, kedamaian, kekuasaan, keadilan, itu semua harus ditujukan untuk mewujudkan kema’rifatan kepada Allah SWT. Hal ini menunjukan bahwa kaum sufi itu tidak anti urusan dunia, melainkan tidak terikat hatinya oleh urusan dunia, atau dengan kata lain urusan dunia itu hanyalah dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi/mulia, yaitu mengenal Alloh dengan sebenar-benarnya (ma’rifatulloh). Jadi seorang sufi itu tidak dikendalikan oleh urusan dunia, melainkan mengendalikan urusan dunia. Hal ini sebagaimana do’a yang sering mereka panjatkan yaitu yang artinya:” Ya Allah jadikanlah dunia itu ada dalam genggaman kami, tetapi janganlah dunia itu ada dalam hati kami” (Pradja,1995:8).

Sebagaimana telah disinggung diawal, bahwa untuk ma’rifat kepada Allah maka manusia itu harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran hati. Disini terlihat bahwa untuk mencapai ma’rifat diperlukan proses yang membutuhkan ruang dan waktu. Dalam konteks inilah politik itu dibicarakan oleh kaum sufi, yaitu untuk mewujudkan kondisi kehidupan manusia yang memungkinkan terwujudnya proses mencapai ma’rifat tadi (kepentingan). Bahkan politik itu sendiri merupakan bagian dari proses dimaksud. Karena merupakan bagian dari proses mencapai ma’rifat, maka politik kaum sufi itu tidak bisa dilepaskan dari peranan “Guru Mursyid”. Hal ini karena dalam ajaran tasawuf diyakini bahwa seseorang tidak bisa menjadi “guru mursyid” jika tidak memiliki strategi politik yang melebihi strategi politiknya para ahli politik dan politisi kelas dunia sekalipun (Maslul,1997). Hal ini tidak berarti bahwa murid tarekat tidak bisa berkreasi, melakukan inovasi, kritis, mandiri dan sebagainya. Melainkan semuanya itu tidak boleh lepas dari komunikasi atau konsultasi dengan Syekh Mursyidnya itu. Sekali lagi karena hal itu merupakan proses ma’rifat yang tidak bisa tidak harus dibimbing oleh Syekh Mursyid.

Dalam agama Islam, Al-Qur’an dan Hadis adalah pedoman hidup yang harus dipatuhi. Oleh karena itu dalam berpolitikpun umat Islam (termasuk kaum sufi) harus tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana diketahui dalam mengimplementasikan Al-Qur’an dan Hadis pada konteks politik, umat Islam terbagi dua, yaitu kelompok normatif dan kelompok substantif. Kelompok normatif sangat mementingkan “bungkus” sehingga kata-kata “Islam” itu harus tercantum tekstual/gamblang dan jelas dalam konstitusi sebuah negara ini. Bahkan menurut mereka, krisis multidimensi yang kini melanda Indonesia itupun salah satunya disebabkan karena konstitusi yang digunakan Republik Indonesia bukan konstitusi “buatan” Allah, melainkan hanya buatan manusia yang serba terbatas sehingga tidak mampu mengakomodir secara penuh kepentingan manusia didalamnya (Ba’asyir,2007).

Sedangkan kelompok substantif lebih mementingkan “isi”, sehingga mereka dapat lebih mentolelir jika konstitusi tidak “dibungkus” dengan kata-kata “Islam” asalkan isi atau substansi dari konstitusi dimaksud benar-benar bersifat “Islami”. Nampaknya dalam hal ini kaum sufi termasuk kelompok substantif, karena mereka lebih sering menekankan isi/substansi manakala mereka menafsirkan Al-Qur’an (Alba,1997).

Mengenai konsep tentang negara kaum sufi termasuk kelompok sunnisme yang memandang bahwa mendirikan negara itu wajib hukumnya berdasarkan syara’. Hal ini karena adanya prinsip dalam Islam bahwa jika untuk melaksanakan sebuah kewajiban diperlukan sesuatu, maka sesuatu itupun menjadi wajib. Oleh karena itu mentaati negara yang didirikan oleh umat Islam itu juga menjadi wajib (Pradja,1991:139). Hal ini karena dalam naungan negara itulah justru kewajiban atau “kepentingan” kaum sufi itu akan lebih mudah untuk diwujudkan. Terhadap para pimpinan negara seperti ini, kaum sufi mendukungnya. Bahkan mereka selalu mendo’akan agar pimpinan negara tersebut memiliki kekuatan untuk mengayomi semua warga negaranya dan mendo’akan agar negara dan agama itu berjaya. Hal ini salah satunya didasarkan kepada do’a Nabi Muhammad yang artinya:”Ya Allah barang siapa memerintah umatku, lalu ia kasih sayang kepada mereka, maka kasihanilah dia. Dan barang siapa yang memerintah umatku lalu mereka menyulitkan mereka, maka berilah mereka kesulitan” (Maslul,2004:52).

Untuk mewujudkan negara itu sekali lagi kaum sufi tetap berpegang teguh kepada Al-qur’an dan Hadis. Artinya dalam praktek berpolitik kaum sufi tetap memegang teguh aturan Syari’at Islam. Seperti tadi telah disinggung, bahwa kekuasaan itu memang penting untuk mewujudkan “kepentingan” kaum sufi. Tetapi perlu diingat bagi kaum sufi kebenaran itu tidak boleh dicapai melalui ketidakbenaran. Artinya, kekuasaan itu hanya boleh dicapai dengan melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan Syari’at Islam (islami).

Dalam kehidupan sosial politik, kaum sufi senantiasa konsisten bahwa hubungan antara pribadi dan masyarakat dengan negara harus berada dalam suatu sinergik dalam rangka melaksanakan amanah Allah. Artinya, hubungan pribadi dan masyarakat harus mengacu kepada peneguhan keseimbangan hak dan kewajiban yang utuh dan dinamis.

Begitu juga hubungan masyarakat dengan negara adalah hubungan kemitraan dan sinergi, bukan berseberangan. Meskipun masyarakat merupakan subsistem dari negara, namun negara tidak boleh mendominasi masyarakat, karena hal tersebut bertentangan dengan sunatullah. Dengan demikian nampaknya kaum sufi sangat memperhatikan terhadap setiap pemimpin politik. Utamanya pemimpin politik yang mendukung dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk seluas-luasnya melaksanakan agama (mengamalkan ajaran tasawuf). Mereka senantiasa apresiatif terhadap pemimpin yang demikian.

Lebih khusus lagi dalam memaknai hubungan negara dan masyarakat, kaum sufi menyikapinya lebih pada menempatkan pemberdayaan masyarakat ketimbang dominasi negara. Otonomi masyarakat yang mengalir pada penempaan dan pengembangan otonomi pribadi, memiliki makna tersendiri bagi terwujudnya upaya meningkatkan kondisi spiritual yang memiliki dampak peningkatan hidmah agar kehidupan masyarakat makin mulia, manusiawi, dan berkeadaban. Struktur, kultur, sistem, dan mekanisme kenegaraan terniscayakan makin mendekatkan posisi dan peran manusia pada pelaksanaan fungsi kekhilafahannya di bumi.

Dalam kehidupan bernegara, kaum sufi sangat menghormati kepemimpinan sampai pada tingkat terendahnya. Penghormatan tersebut lahir dari penjiwaan konsep istiqomah atas keberadaan pemimpin yang dipilih dari, dan untuk warga sebagai wakil individu. Ajaran Tasawuf mengingatkan bahwa kesetiaan atas pilihan sendiri merupakan bagian penting dalam hidup, paling tidak kaidah ini disebabkan oleh sistematika dalam pengambilan keputusan penentuan pimpinan, yang pada tataran teknis operasional dijumpai lima konsep perbuatan; yaitu istifadah, mengambil manfaat dari pengalaman, istikharah, memohon pertolongan pilihan kepada Allah, istiqomah, konsisten, istighasah, munajat secara khusus, dan istisyarah, musyawarah. Karena memilih pemimpin yang berlandaskan langkah-langkah inilah, kaum sufi memiliki loyalitas yang tinggi kepada pimpinan yang dipilihnya, kecuali pimpinan itu mendorong kepada maksiat kepada Allah.

Dalam hal mempersepsi ulama, tokoh masyarakat, serta pejabat pemerintah, kaum sufi lebih menekankan kepada pentingnya peran ulama, namun demikian ketiganya diniscayakan agar senantiasa bersama dan dalam kebersamaan sebagai kemitraan yang saling mengokohkan. Mereka hormat kepada ketiga komponen pemuka itu, karena selama ketiganya itu memiliki integritas pribadi serta berperilaku saleh dalam agama. Mereka sadar bahwa ulama memperoleh titipan ilmu dari Allah untuk disampaikan kepada yang membutuhkannya, dan tokoh masyarakat termasuk pejabat pemerintah memiliki amanat dan titipan Allah agar mengayomi rakyatnya. Kaum sufi menghormati ketiganya agar mereka mendapat informasi yang benar sehingga mereka bisa berpartisipasi secara penuh dan sungguh-sunguh terhadap setiap kegiatan kemasyarakatan. Namun demikin, kaum sufi tetap mengembangkan otonomi partisipasi kemasyarakatannya yang memberi kontribusi signifikan demi suksesnya proyek pencerdasan dan penyejahteraan masyarakat.

Kaum sufi juga senantiasa bersikap positif dan terbuka dalam hidup keseharian. Sikap ini tercermin dalam perilaku yang senantiasa hangat dalam menerima siapapun. Berpikir posisif dalam menghadapi situasi apa dan bagaimanapun. Prinsip hidupnya dalam kepolitikan senantiasa dilandasi oleh komitmen: jika tidak bisa ikut rembug menyelesaikan masalah, paling tidak ia tidak menjadi bagian dari masalah tersebut atau pembuat masalah baru. Mereka mempersepsi hidup senang ataupun susah, berhasil ataupun tidak, bahkan terhadap sanjungan pujian dan makian, serta cinta dan benci disikapi sama (Al-Kalabdzi,1985). Karena bagi setiap mu’min setiap apapun yang terjadi dan menimpa dirinya, buruk ataupun baik, sesungguhnya menjadi inspirasi ilahiyah serta memberikan motivasi agar meningkatkan derajat hidupnya agar selaras dengan dinamika ruang dan waktu.

Kaum sufi sangat mengutamakan kejujuran, kebajikan, dan kebenaran dalam mengisi setiap aspek kehidupan. Ajaran tasawuf mendorong kaum sufi untuk berperilaku positif, baik dalam akhlak maupun moral pada tataran personal, sosial dan interaksional termasuk dalam berpolitik. Sehingga kaum sufi cenderung malu dan merasa berdosa untuk berbuat segala macam penyelewengan, apalagi berkaitan dengan perbuatan dzolim dan batil. Oleh karena itu kaum sufi senantiasa mengutamakan sikap rendah hati, merunduk dan ikhlas dalam hidup bersama dan dalam kebersamaan. Karenanya mereka senantiasa menentang segala bentuk kekerasan politik, anarkhisme, tidak sopan, tidak tunduk kepada hukum dan ketentuan yang berlaku. Kaum sufi senantiasa berusaha mewujudkan keharmonisan, sehingga tidak terjadi bentrokan yang dapat mengarah kepada perpecahan. Menurut mereka ibadah yang vertikal ilahiyah bisa terhambat apabila hubungan yang horizontal dengan sesama manusia tidak harmonis. Jadi hubungan dengan Tuhannya akan sia-sia, bahkan sesungguhnya muara dari peran kekhalifahan ilahiyah di bumi adalah terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran, dan peradaban yang makin tinggi (Salamah,2001).

Untuk mewujudkan semua itu kiranya diperlukan “kekuasaan”. Dan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan yang kemudian digunakan untuk kepentingan “kebenaran” itu merupakan bagian dari da’wah, dimana da’wah itu sendiri harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kepribadian kaum sufi sebagaimana telah diuraikan diatas.

Dalam Islam (termasuk dalam tasawuf tentunya) dikenal adanya konsep da’wah. Hal ini merujuk kepada Al-Qur’an surat An-Nahli ayat:125 yang artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana (hikmah),dan dengan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ” (Depag,1996). Dari ayat itu para ulama Islam berpendapat bahwa da’wah itu merupakan kewajiban bagi muslim, sehingga setiap muslim harus berda’wah sesuai dengan kemampuanya masing-masing. Dan da’wah itu harus dilakukan dengan cara yang islami sufistis.

Kata da’wah itu sendiri secara etimologis berasal dari kata kerja (Fi’il) dalam Bahasa Arab yaitu “Da’a” yang artinya memanggil, mengundang, menyeru dan mengajak (Anshari,1993;10). Sedangkan secara terminologis da’wah itu berarti segala usaha yang ditujukan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami. Dengan demikian jika politik itu kita artikan sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan yang akan digunakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang islami, maka aktivitas politik itupun termasuk dalam da’wah. Oleh karena merupakan da’wah, maka berpolitik itu merupakan bagian dari kewajiban muslim, yang harus dilaksanakan secara serius sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal ini merupakan kewajiban yang sangat masuk akal, karena jika kekuasaan itu jatuh ketangan orang-orang yang tidak berkomitmen untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami maka sangat mungkin kaum muslim termasuk kaum sufi akan tidak mudah untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka, yaitu melaksanakan semua perintah Alloh.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP