filsafat islam

>> Minggu, 10 Mei 2009

Pola Pikir Tasawuf Al-Farobi
Al- Farobi sebagai seorang filosuf telah menghimpun berbagai konsepsi dimana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait . sebenarnya apabila kita teliti hampir setiap aliran filsafat membicarakan soal tasawuf. Misalnya, Aristoteles seorang realis dalam pembahasan dan metoda pemikirannya, pada akhirnya ia mendasarkan pembahasan psikologisnya atas teori limpahan dan ilham, dan puncak akhlaknya adalah keutamaan pikiran yang merupakan tangga renungan dan pengalaman tasawuf yang paling tinggi.

Dalam memahami dalam berbagai pembahasan Al-Ghazali pada umumnya didominasi oleh pemikiran-pemikiran, akan tetapi jiwanya tidak pernah mendapat kepuasan kecuali dari pengetahuan tasawufnya. Descartes juga pada mulanya meragukan kebenaran sesuatu, kecuali terhadap dirinya dan pemikiranya. Setelah ia mencapai kebenaran ini maka dijadikannya dasar keyakinan pendapatnya dan titik tolak bagi seluruh filsafat yang keseluruhannya didasarkan atas dialog spiritual dan hubungan dengan Tuhan, seperti yang kita dapati pada Plotinus. Malebranche juga menyatakan adanya hubungan yang terus menerus antar manusia dengan Tuhanya, dan oleh karena itu pengetahuan kita tidak lain adalah limpahan dari Tuhan.
a. Dasar-dasar Tasawuf
Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al-Farobi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al-Farobi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berdasarkan pada studi. Sedangkan pada kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian meski sudah memiliki keutamaan alamiyah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan. Disini akal manusia dalam merombak jalan peningkatan dan perkembanganya melampaui fase-fase yang satu dengan yang saling menopang, sebab pada awalnya ia merupakan akal potensi, namun apabila ia mempersepsi sebagian besar pengetahuan yang umum dan realitas-realitas yang universal, maka ia menjadi akal aktual. Kemudian pandanganya meluas meliputi mayoritas universe, maka ia meningkat menuju tahapan yang tertinggi bagi pencapaian manusia yitu ketingkat derajat akal mustafad (acquired intellect = akal limpahan) yang juga disebut dengan tingkatan limpahan dan ilham.
Apabila manusia sudah mencapai tingkatan akal mustafad, maka ia dapat menerima cahaya-cahaya Ketuhanan dan dapat berhubungan langsung dengan akal kesepuluh. Jadi dengan ilmu dan ilmu semata-mata, kita dapat menghubungkan langit dan bumi, antara alam Ketuhanan dengan alam Kemanusiaan, atau antara malaikat dengan manusia. Dengan demikian maka kita bisa sampai kepada kebahagian yang sebesar mungkin.
Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu, memang tidak semua orang dapat mencapainya, kecuali bagi orang-orang yang mempunyai jiwa yang suci dan yang dapat menembus alam ghaib dan naik kealam cahaya dan kebahagiaan.
b. Pandangan Al-Farobi Tentang Kebahagiaan
Kebahagiaan yang dituju oleh filsafat dan moral dibuktikan dengan teori dan praktik serta diusahakan manusia melalui studi dan tingkah lakunya adalah kebaikan mutlak dan puncak segala puncak, batas segala akhir bagi orang-orang yang mencapainya
Al-Farobi mengatakan bahwa kebahagiaan adalah jika jiwa manusia menjadi sempurna didalam wujud dimana ia tidak membutuhkan dalam eksistensinya kepada suatu materi.

7. Logika
Logika dapat membantu kita untuk membedakan yang benar dan yang salah dan memperoleh cara yang benar dalam berpikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini.
Masalah pokok logika adalah topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman. Topik-topik itu dibedakan menjadi delapan:
1) Pengelompokan
2) Penafsiran
3) Pengupasan pertama
4) Pengupasan kedua
5) Topik
6) Sofistik
7) Retorik
8) Puisi
Yang kesemua itu merupakan tujuan utama logika. Bagian keempat merupakan bagian paling berguna dan paling penting dibandingkan yang lainnya, yang terdahulu dapat dianggap sebagai pendahuluan dan berikutnya merupakan penerapan dan perbandingan yang dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan kebingungan.
Melalui beberapa pemikirannya , sumbangan Al-Farobi dibidang logika ada dua, pertama ia telah berhasil secara tepat dan jelas menerangkan logika Aristoteles kepada bangsa yang berbahasa Arab. Dalam pendahuluan dari salah satu risalahnya yang diterbitkan akhir-akhir ini, ia menunjukkan bahwa ia menerangkan prinsip-prinsip silogisme. Proses yang dilakukannya betapapun tidak merugikan studi logika Aristoteles dan pula membuat jalan lain, atau memutarbalikkan arti filsafatnya.
8. Teori Al-Farobi Tentang Sepuluh Kecerdasan
Tori Al-Farobi menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Dan dari gerakan itu ada gerak lingkungan yang disebabkan oleh semacam tarikan spiritual : lingkungan yang lemah selalu ditarik oleh lingkungan yang lebih kuat. Proses ini merupakan proses dinamis spiritual yang serupa dengan proses Leibniz, meskipun ia bergantung kepada kekuatan spiritual yang tidak sama. Tampaknya Al-Farobi sebagai pemusik, berupaya memasukkan sistem keselarasan musikal ke dalam dunia lingkungan.
Kesimpulan-kesimpulan Al-Farobi tentang fisika berhubungan erat dengan teori-teori tentang astronomi. Dari inteligensi kesepuluh, lahirlah materi-materi utama dari hyle, yang merupakan asal dari empat unsur dan dari inteligensi hyle untuk membentuk wadag. Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk berlainan yang menyatu dengan materi atau terpisah darinya. Pertumbuhan merupakan hasil persatuan bentuk dan materi, kerusakan merupakan hasil pemisahan mereka. Gerak matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi perubahan. Semua inteligensi yang terpisah menghasilkan gerak yang bermanfaat bagi dunia bumi. Disini fisika berbaur dengan kosmologi dan dunia bumi diatur oleh dunia langit.
Al-Farobi melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, memecahkan masalah gerak perubahan. Ia menggunakan teori itu pula ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran islam tentang penciptaan. Materi itu tua, setua sepuluh inteligensi, tetapi ia tercipta karena ia memancarkan dari inteligensi agen. Untuk mengukuhkan keesaan Tuhan Al-Farobi memilih menengahi sepuluh inteligensi ini antara Tuhan dan dunia bumi.
Unsur-unsur tepri sepuluh inteligensi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran Aristoteles dengan gerak lingkungan. Teori pemancaran diperoleh dari Plotinus dan aliran Alexandria. Tetapi secara keseluruhan hal itu merupakan suatu teori Al-Farobi yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodanya tentang pengelompokan dan sintesis.
9. Al-Farobi (Emanasi)
Al-Faidh menurut Al-Farobi adalah semacam teori emanasi yang dikeluarkan Plotinus. Apabila terdapat suatu zat yang kedua sesudah yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang ia (Yang Esa) adalah diam sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zatnya timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu dimana sesuatu itu keluar darinya.
Menurut Al-Farobi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Bagaimana hubunganya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam keluar darinya dalam proses waktu ataukah alam itu qodim seperti qodimnya Tuhan juga?.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama yang mengandung dua segi, yaitu:
1) Segi hakikatnya sendiri, yaitu wujud yang mungkin
2) Segi lain, yang wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai zat yang menjadikan
Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukanya sebagai wujud yang wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui Tuhan, maka keluarlah Akal kedua. Dari pemikiran akal pertama dalam kedudukanya sebagai wujud yang mungkin dan mengetahui dirinya maka timbullah langit pertama atau benda langit dan jiwanya.
Dari Akal kedua, timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama sepeti yang terjadi pada akal pertama.
Dari Akal ketiga, keluarlah Akal keeempat dan planet Saturnus, juga beseta jiwanya. Dari Akal keempat, keluarlah Akal kelima dan planet Yupiter beserta jiwanya.
Dari Akal kelima keluarlah Akal keenam dan planet Mars beserta jiwanya.
Dari Akal keenam keluarlah ketujuh dan matahari beserta jiwanya.
Dari Akal ketujuh keluarlah Akal kedelapan dan planet Venus juga beserta jiwanya.
Dari Akal kedelapan keluarlah Akal kesembilan dan planet Merkurius beserta jiwanya pula.
Dari Akal kesembilan keluarlah Akal kesepuluh dan bulan.
Dengan demikian, maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
Dengan demikian ada suatu perpaduan, hanyalah tinjauan filosofis dan sains berbeda dalam operasional tujuan. Al-Farobi menyatakan jumlah Akal ada sepuluh, Sembilan diantaranya untuk mengurus benda-benda langit yang Sembilan dan akal sepuluh yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan di bumi.
10. Filsafat Kenegaraan Al-Farobi
Dalam soal filsafat kenegaraan ini Al-Farobi umumnya sesuai dengan filsafat Plato. Mengenai ini Al-Farobi telah menulis sebuah buku yang terkenal berjudul AAra-u ahlil-madinati-fadilah. Al-Farobi dalam bukunya itu memperbandingkan masyarakat dengan badan manusia. Dalam uraiannya tentang negeri yang utama (al-madinatul fadilah) itu Al-Farobi menegaskan bahwa negeri yang utama ialah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya. Untuk itu ia harus berpedoman kepada contoh teraturnya hubungan antara Tuhan dengan alam dan antara isi alam satu sama lain.
Al-Farobi juga menerangkan bahwa masyarakat sempurna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara unsur-unsurnya. Perbedaanya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farobi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Disini nyata teori kenegaraannya itu paralel dengan filsafat metafisikanya tentang kejadian alam (emanasi yang bersumber pada yang satu). Hubungan dunia dengan Tuhan itu dapat menjadi teladan bagi hubungan antaramasyarakat dengan raja.
Didalam Negara yang terpenting adalah Kepala Negara. Dimisalkanya dengan hati, yaitu yang terpenting didalam diri manusia. Karena hati unsur badan manusia yang paling sempurna, maka Kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara (kota). Kalau kesehatan manusia bergantung kepada perkembangan dan hubungan yang teratur di antara unsur-unsurnya satu sama lain, maka Negara (kota) yang buruk atau sesat (al-madinatul dallah) adalah seperti seseorang yang sakit (abnormal).


Etika Kenegaraan
AL-Farobi mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri-naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Etika kenegaraan Al-Farobi ini ternyata sangat sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Negara-negara sejak dahulu kala hingga dewasa ini.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP