SEKOLAH UNGGUL

>> Rabu, 13 Mei 2009

Tujuh Ayat Sekolah Unggul

Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan
banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya
sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan
kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini
merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model
pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk
memperbaiki mutu pendidikan.

Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1) orang tua
menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua
percaya bahwa program IPA lebih bergengsi daripada program IPS bagi anak
mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4)
masyarakat percaya bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status
sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan
pendidikan.

Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat kosa kata yang
maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah
unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya. Dalam literatur internasional
semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration
school, experiment school, atau accelerated school, dan sekolah-sekolah
pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.

Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa kekhasan pada
masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah
effective school atau sekolah unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa
siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu
belajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif antara
guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa
dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan. Sekolah
unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai
berikut.

Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum
mampu– dan memang tidak diberdayakan untuk mampu–mengartikulasikan visi
dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi
semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, “SMA
berbasis komputer”, “SD berbasis kelas kecil”, “SMP berbasis IST
(information system technology),” “SMK bersistem asrama,” “Aliyah dengan
pengantar tiga bahasa,” dan sebagainya.

Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas,
mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah dua atau
tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa
yang kreatif dan disiplin,” dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas
yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini
dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.

Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang
mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3)
nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5)
lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan
bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk
mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.

Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala
sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai
sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai
materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk
berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk
mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.

Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari
pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah
ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses
pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi
terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami
budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila
tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.

Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil
menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim
dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah,
(3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang
efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota
masyarakat lain demi pembelajaran siswa.

Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua
guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan
penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru
memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan
keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara
tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal
ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun
mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai
berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas,
(3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan
fleksibel.

Kelima, lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana
tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis,
tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari
agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative
learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap
nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana
sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat
kerja, dan kepuasan guru dan siswa.

Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua
memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan
dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian,
sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota
keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan.

Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra
school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan
pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya.
Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua.
Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan
untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi.
Singkatnya, sekolah unggul membangun “kepercayaan” dan silaturahmi
sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.

Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa
dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk
memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum
secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan
dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.

Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes
baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar
kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced).
Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan
dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio.
Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk
dikomunikasikan kepada orang tua.

Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya
sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap
mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi
pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu.
Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program
rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan
kelebihan dan kekurangan sendiri.

Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila
sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian
dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a
sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan
individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat
disumbangkan pada sekolah.

Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini,
kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin
tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi,
serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas
dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak
dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP