MAKALAH CTL

>> Rabu, 13 Mei 2009

ABSTRAK

Pendekatan kontektual(Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.
Disadari sungguh bahwa pendekata, strategi yang dipergunakan oleh guru akan sangat tidak bermakna dan dapat memberikan kontribusi bagi perubahan pembelajarn IPS apabila seorang guru IPS tidak siap dalam proses pembelajaran di kelas. Konsekwensi dari semua ini adalah pendidikan IPS diyakini dan dirasakan oleh siswa sebagai pembelajaran yang membosankan, dan juga salah satu bentuk penindasan atau pemaksaan kehendak dari guru kepada siswa. Oleh karena itu maka pendekatan kontekstual dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan menumbuhkan kebermaknaan pembelajaran IPS di sekolah.

Kata Kunci : Penbelajaran Kontekstual



A. Dilema Seputar Pembelajaran PIPS

Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional ( USPN ) No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tahan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.

Undang – undang tersebut mengisyaratkan adanya upaya-upaya untuk mengembangkan kemampuan siswa agar mereka lebih berilmu, cakap, kreatif dan tanggung jawab. Dalam proses pembelajaran di kelas ridak terkecuali pembelajaran PIPS harus terus diupayakan peningkatan – peningkatan kearah berkembangnya kemampuan siswa. Pembelajaran tradisional yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk antif dan kreatif segera ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan – pendekatan atau metode – metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Hal ini dilakukan untuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan semakin pesat.
Tantangan – tangtangan pendidikan IPS itu menurut Somantri ( 2001 : 190 ) antara lain; ” keahlian pendidikan IPS ” administrasi ” penelitian” semangat ilmiah ” dan kemampuan menyesuaikan diri dengan derap pembangunan nasional dan globalisasi ”. Sementara itu Wiriaatmadja ( 2002 : 298 ) mengatakan ” pada abad ke 21, kita akan berhadapan dengan zaman informasi-elektronik-bioteknologi, yang sekaligus bersama – sama dalam permasalahan lama akan menantang kemampuan intelektual dan moral kita, dan mennyebabkan semakin sulit pencapaian tujuan nasional yang hendak kita raih”.
Kalau dirangkum, latar belakang dan masalah yang dihadapi pendidikan IPS sangat bannyak sekali, dan ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan oleh pendidikan IPS untuk memasuki abab ke 21. Jika tantangan ini tidak dijawab dengan perubahan – perubahan kearah yang lebih baik maka dikwatirkan Pendidikan IPS akan menjadi tertinggal saat bangsa mamasuki era glonalisasi.
Peran strategi pendidikan IPS adalah memperkuat kemampuan SDM. Persoalannya bagaimana pengembangan pendidikan IPS untuk menjadi pendidikan intelektual dan pendidikan nilai sosial ! yang handal dan dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dan masyarakat. Pendidikan IPS dalam hal ini dihadapkan pada tantangan bagaimana arah pembangunan epistemologi dan strategi peningkatan mutu pendidikan IPS agar dapat menanamkan kekuatan intelektual dan emosional pada peserta didik untuk meberdayakan potensi dirinya.
Pendidikan IPS dilihat dari dimensi keilmian hendaknya kita tidak tabu akan kritik bagi pengembangannya, sebab berkaitan dengan metode ilmiah yang tidak bebas nilai yang bergantung pada dasar asumsi tentang realitas yang dikajinya, maka sangat diperlukan kajian kritis untuk memperoleh pemaknaan yang tepat. Berkaitan dengan itu pendidikan IPS dihadapkan pada tantangan bahwa pendidikan IPS akan memiliki kekuatan epistimologi yang kokoh, apabila dikembangkan pada paradigma modern yang berbasis pada keterkaitan sains, teknologi dan agama.
Kelemahan – kelemahan pembelajaran IPS selama ini adalah kurang mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Guru tidak mengembangkan berbagai pendekatan maupun metode dalam pembelajaran. Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang mudah saja dengan menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta – fakta belaka. Berikut ini perlu dicermati pendapat Numan Somantri ( 2001 : 39 ) tentang pembelajaran pendidikan IPS.
Pendekatan ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar. Kalaupun ada diskusi tetapi tida ada hubungannya dengan prosedur bertikir ilmu sosial.
Hierarki belajar hampir tidak di temui baik dalam penyusunan satuan pelajaran, proses belajar, konstruksi tes maupun dalam buku pelajaran.
Tingkat pengetahuan sebahagian besar peserta didik berada dalam kelompok peringkat satu ( fakta ) dan peringkat dua ( konsep ), sedang generalisasi sebagai peringkat riga hampir tidak digunakan.
Penyebaran kawasan tujuan instruksional tidak memungkinkan peserta didik belajar aktif.
Mata pelajaran sejarah dan ilmu sosial lainnya sangat membosankan dan kurang membantu dalam permulaan di perguruan tinggi maupun manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pengalaman di lapangan dan analisis dari beberapa sumber, ternyata masih bannyak guru yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk memilih dan mengaplikasikan berbagai metode atau pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan kegairahan, keaktifan, kreatifitas, dan motovasi belajar siswa. Disamping itu, tidak jarang siswa kesulitan dalam menamgkap isi pesan yang disampaikan oleh guru selama berlangsungnya pembelajaran, karena metode yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik materi pelajaran yang disampaikan.
Penyebab lain siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran IPS adalah karena pembelajaran IPS dianggap tidak dapat mengaplikasikan untuk mengetahui secarah lebih jauh apa yang dipelajarinya, karena itu pembelajaran pendidikan IPS dinggap hannya sekedar untuk kepentinggan ” sesaat ” tanpa ada manfaat praktis dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat. Tantangan lain dalam pendidikan IPS adalah belum menjadi nilai sosial budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat atau dilingkungan peserta didik menjadi sumber belajar. Sehingga kadang kala peserta didik tidak merespon kejadian – kejadian yang ada di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Muchtar ( 2004 : 220 ) dalam bukunya ” Pengembangan berpikir dan nilai pendidikan IPS ” :
Nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat lingkungan peserta didik tidak dijadikan sumber pelajaran IPS. Kalaupun dilakukan amat terbatas hannya sebagai bahan pelengkap tidak merupakan inti bahasan untuk melatih kemampuan penalaran nilai. Dampaknya pendidikan IPS tidak mendekatkan dan mengakrapkan peserta didik dengan lingkungan sosial budayanya. Akibatnya pendidikan IPS belum mampu berperan sebagai media bagi pengembangan kemampuan penalaran nilai bagi peserta didik.

Sehunungan dengan permasalahan diatas, maka upaya peningkatan kualitas proses belajar mengajar pendidikan IPS, merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang di duga dapat menjembatani keresahan tersebut adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang di ajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari – hari ( Depdiknas, 2003 : 5 ).
Pendekatan CTL merupakan upaya untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Menurut ( Wiriaatmadja, 2002 : 307-308 ) Proses belajar mengajar ilmu – ilmu sosial akan tanggu apabila melakukan banyak kegiatan aktif, seperti :
Belajar mengajar aktif harus disertai dengan berpikir reflaktif dan pengambilan keputusan selama kegiatan berlangsung, karena proses pembelajaran berlangsung dengan cepat dan peristiwa dapat berkembang dengan tiba – tiba.
Melalui proses belajar aktif, siswa lebih mudah dan mengembangkan dan memahami pengetahuan baru mereka.
Proses belajar aktif membangun kebermaknaan pembelajaran yang diperlukan agar peserta didik dapat mengembangkan pemahaman sosialnya.
Peran guru secara bertahap bergeser dari berbagai sumber pengetahuan atau model kepada peranan yang tidak menonjol untuk mendorong siswa agar mandiri dan berdisiplin.
Proses belajar mengajar ilmu – ilmu sosial yang tangguh menekankan proses pembelajaran yang aktif di lapangan untuk mempelajari kehidupan nyata dengan menggunakan bahan dan ketrampilan yang ada di lapangan.

Dari analisis konseptual dan empiris menyangkut pembelajaran pendidikan IPS dan pendekatan yang digunakan oleh guru dalam belajar sebagaimana yang diuraikan diatas, maka pemahaman yang saksama terhadap karakteristik topik dan kepentingan bekajar siswa dalam mempelajari pendidikan IPS merupakan salah satu hal yang diduga dapat mengeleminir permasalahan siswa dalam mempelajari pendidikan IPS. Guru hendaknya mampu memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan harapan siswa dalam mempelajari pendidikan IPS.

B. Pengertian dan Konsep dasar Strategi Pembelajaran CTL :

Kata kontekstual ( contextual ) berasal dari kata context yang berarti ” hubungan, konteks, suasana dan keadaan ( konteks ) ”. ( KUBI, 2002 : 519 ). Sehingga Contextual Teaching and Learning ( CTL ) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu. Secara umum contextual mengandung arti :
Yang berkenan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks;
Yang membawa maksud, makna, dan kepentingan.

Menurut Depdiknas ( 2003 : 5 ) ” Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari – hari ”.

Pendekatan CTL diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya nanti. Dalam kelas kontekstual, guru berusaha membantu siswa mencapai tujuan. Maksudnya guru lebih bannyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Pengetahuan dan ketrampilan diperoleh dengan menemukan sendiri bukan apa kata guru.

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi – strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut ( Depdiknas, 2002 : 4 ).

CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep diatas terdapat tiga hal yang harus kita pahami :
Pertama : CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar dioryentasikan pada proses pengalaman secara langsung.
Kedua : CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyara, artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga : CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CRL bukan hannya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.

Sehubungan dengan hal itu, Terdapat beberapa karakterristik dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL yakni :
1. Kerjasama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan, tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif
8. Sharing dengan teman
9. Siswa kritis guru kreatif
10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain

C. Asas – Asas CTL :

1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut pengembang filsafal konstruktivisme Mark Baldawin dan diperdalam oleh Jean Piage menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hannya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal – hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan – gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat dijadikan milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya : 2006)
Menurut Suparno ( 1997 : 49 ) secara garis besar prinsip – prinsip konstruktivisme yang diambil adalah : ( a ) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; ( b ) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk bernalar; ( c ) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah; ( d ) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

2. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang hatus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Ada beberapa langkah dalam kegiatan menemukan dalam kegiatan menemukan ( inkuiry ) yang dapat dipraktekkan di kelas :
A. Merumuskan Masalah
ü Bagaimana sislsilah raja majapahit
ü Kota – kota mana saja yang termasuk kota besar di Indonesia
ü Bagaimana kategori pasar

B. Mengamati dan melakukan observasi
ü Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi.
ü Mengamati dan mengumpulkan data dari objek yang diamati

C. Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan bagan, tabel dan karya lainnya.
ü Siswa membuat gagan silsila Raja Majapahit
ü Siswa membuat peta kota – kota besar di Indonesia
ü Siswa membuat tabel jenis – jenis pasar

D. Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.
ü Siswa menyampaikan hasil karya kepada teman sekelas atau kepada yang lain untuk mendapat masukan.
ü Bertanya jawab dengan teman
ü Menempelkan gambar, bagan, peta dan sejenisnya di dinding kelas, majalah dinding, majalah sekolah dan sebagainya.

3. Bertanya ( Quesrioning )
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingin tahuan setiap individu; sedangkan menjawa pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam bepikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan – pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang di pelajarinya.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :
Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
Mengecek pemahaman siswa
Membangkitkan respon siswa
Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa
Mengetahui hal – hal yang sudah diketahui siswa
Menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang di kehendaki guru
Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa

Kegiatan ” bertanya ” menjawab permasalahan gaya pendidikan lama yang menganggap bahwa ” tong kosong nyaring bunyinya ” atau ” berbicara adalah perak tetapi diam adalah emas ”. Banyak bertanya sering kali tidak di tanggapi dengan positif oleh guru maupun teman – teman. Kelas bukan merupakan tempat yang aman untuk ” berbuat kesalahan ” dan eksplorasi. Anak kecil dalam kepoloson belajarnya justru sering kali bertanya banyak hal yang terkadang membingungkan orang tua seperti ” kenapa langit warnanya biru ? bagaimana adik bisa berada di perut ibu ”. Sekali lagi seiring perjalanan pendidikan kita, kepolosan dan kekritisan tidak semakin terasah tetapi justruh sebaliknya. Siswa menjadi malas dan bahkan apatis terhadap kegiatan belajar yang dirasa sebagai siksaan.

4. Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang bannyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat di pecahkan sendiri, tetapi mebutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar ( learning communty ) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajarn deperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal naupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya kepada orang lain. Inilah hakekat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.
Belajar yang baik adalah bersifat sosial. Satu relaah di Standvord University ( Dave Meieer, 2002 : 62 ) menemukan bahwa bimbingan belajar dari kawan itu empat kali lebih efektif untuk meningkatkan prestasi di bidang matematika dan membaca dibandingkan jika jumlah murit dalam kelas si kurangi atau waktu pengajaran di perpanjang dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan instruksi individual dengan komputer.
Model pembelajaran dengan teknik ” Learning Community ” sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam :
Pembentukan kelompok kecil
Pembentukan kelompok besar
Mendatangkan ” ahli ke kelas ( tokoh, olah ragawan, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu dll ).
Bekerja dengan kelas sederajat
Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
Bekerja dengamn masyarakat

5. Pemodelan ( Modeling )
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya : Guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Proses modeling tidak sebatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dinggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman – temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Medeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
6. Refleksi ( Reflection )

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru di pelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang suda dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengalaman yang batu di terima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung ” kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, mestinya dengan cara yang batu saya pelajari, sehingga file dalam komputer saya lebih tertata.
Pengetahuan diperoleh melalui proses, pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajara yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan – hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Refleksi mejawab pertanyaan kaum behaviorisme yang memisahkan aspek jasmani manusia dengan aspek rohaninya. Selama ini siswa menjalani pembelajaran dengan statis dan tanpa variasi. Jarang sekali mereka diberi kesempatan untuk ” diam sejenak ” dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka lakukan atau pelajari. Waktu amat cepat berlalu, semua terbutu – buru dan mungkin memang tidak sempat melakukannya.

7. Penilaian Nyata ( Authentic Assessment )
Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hannya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hannya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic Assessment ) adalah prose yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar – benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang posirif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus – menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada prose belajar bukan kepada hasil belajar.
Secara ringkas tujuh pilar CTL dan kelemahan pembelajaran tradisonal dapat disusun dalam tabel berikut :

Tanel 01
Perbandingan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional

Pilar / Solusi, Indikator, Masalah

1. Konstruktivisme
Belajar berpusat pada siswa untuk mengkonstruksi bukan menerima. (Model Baru)
Belajar yang berpusat pada guru, formal, serius. (Model Lama)

2. Inquiri
Pengetahuan diperoleh dengan menemukan, menyatukan rasa, karsa dan karya.(Model Baru)
Pengetahuan diperoleh siswa dengan duduk manis, mengingat seperangkat fakta, memisahkan kegiatan fisik dengan intelektual.(Model Lama)

3. Bertanya
Belajar merupakan kegiatan produktif, menggali informasi, menghasilkan pengetahuan dan keputusan.(Model Baru)
Belajar adalah kegiatan konsumtif, menyerap informasi menghasilkan kebingungan dan kebosanan.(Model Lama)

4. Masyarakat Belajar
Kerjasama dan maju bersama, saling membantu.(Model Baru)
Individualistis dan persaingan yang melelahkan.(Model Lama)

5. Pemodelan
Pembelajaran yang Multi ways, mencoba hal – hal baru, kreatif.(Model Baru)
Pembelajaran yang One way, seragam takut mencoba, takut salah.(Model Lama)

6. Refleksi
Pembelajaran yang komprehensif, evaluasi diri sendiri/internal dan eksternal.(Model Baru)
Pembelajaran yang terkotak – kotak, mengandalkan respon eksternal/guru.(Model Lama)

7. Penilaian Otentik
Penilaian proses dan hasil, pengalaman belajar, tes dan non tes multi aspects.(Model Baru)
Penilaian hasil, paper and pencil test, kognitif.(Model Lama)


D. Peran Guru dan Siswa Dalam CTL

Konsep belajar aktif sudah dikembangkan oleh Confusius, 2400 tahun yang silam dengan mengemukakan teori sebagai berikut, selanjutnya Mel Silberman dalam bukunya ” Active Learning ”, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, 2002 mengembangkan pernyataan Confusius Belajar Aktif sebagai berikut :
Apa yang saya dengar saya lupa
Apa yang saya lihat saya ingat sedikit
Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti
Apa yang saya lihat, dengar, diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan ketrampilan
Apa yang saya ajarkan saya kuasai

Seriap siswa mempunyai gaya yang berbada dalam belajar. Perbedaan yang dimiliki siswa tersebut oleh Bobbi Deporter ( 1992 ) dinamakan sebagai unsur modalitas belajar. Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap guru harus memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar tehadap gaya belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering terlupakan sehingga proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak, yang menurut Paulo Freire sebagai sistem penindasan.
Kearifan siswa tidak saja dalam menerima informasi tetapi juga dalam memproses informasi tersebut secara efektif, otak membantu melaksanakan refleksi baik secara eksternal maupun internal. Belajar secara pasif tidak ” hidup ”, karena siswa mengalami proses tanpa rasa ingin tahu, tanpa pertanyaan dan tanpa daya tarik pada hasil, sedangkan secara aktif siswa dituntut mencari sesuatu sehingga dalam pembelajaran seluruh potensi siswa akan terlibat secara optimal.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL :
1. Siswa dalam pembelajaran dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sementara berada pada tahap – tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tikat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Siswa memiliki kecenderungan untuk belajar hal – hal yang baru dan penuh tantangan. Kegemaran anak adalah mencoba hal – hal yang dianggap aneh dan baru. Oleh karena itulah belajar bagi mereka adalah mencoba memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian, guru berperan dalam memilih bahan – bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
3. Balajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal – hal yang baru dengan hal – hal yang sudah di ketehui. Dengan demikian, peranan guru adalah membantu agar setiap siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
4. Belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada ( asimilasi ) atau proses pembentukan skema ratu atau ( akomodasi ), dengan demikian tugas guru adalah memfasilitasi ( mempermudah ) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.


F. KESIMPULAN

Contextual Teaching and Learning ( CTL ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari – hari. Pendekatan CTL memiliki tujuh asas dalam pembelajaran diantaranya : Konstruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sesungguhnya. Satu kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL, jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.
Tujuan utama diterapkannya pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) dalam pembelajaran IPS adalah agar peserta didik dapat menghubungkan pelajaran IPS yang mereka pelajari dengan kondisi nyata mereka sehari – hari. Siswa dengan sadar akan mengerti apa makna dari belajar tersebut, mereka akan sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupan nanti. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan semata – mata mengetahuinya saja.
Pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) dapat diterapkan pada semua mata pelajaran dan dapat dijalankan tanpa harus merubah kurikulum dan tatanan yang ada. Pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL ) hanyalah sebuah strategi pembelajaran sepertihalnya strategi pembelajarn lain. Pendekatan kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ” mengalami ” bukan ” menghafal ”.


DAFTAR PUSTAKA


Al Muchtar, Suwarma. ( 2004 ). Pengembangan Berpikir dan Nilai Dalam IPS. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.

Dahar, Ratna Wilis. ( 1996 ). Teori – Teori Belajar. Jakarta : Erlangga.

Depdiknas. ( 2002 ). Pembelajaran Kontekstual. Jakarta : Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional.

.( 2003 ). Pendekatan Kontekstual; Contextual Teaching ang Learning ( CTL ). Jakarta : Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional.

.( 2005 ). Ilmu Pengetahuan Sosial, Konsep Dasar Ilmu. Jakarta : Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departeman Pendidikan Nasional.

Hamalik Oemar. ( 2002 ). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.

Hasan Hamid. ( 1996 ). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Hutchins Robert Maynard. ( 2004 ). Pendidikan Liberal Sejati. Dalam Menggugat Pendidikan. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Sanjaya Wina. ( 2006 ). Strategi Pembelajara. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Somantri M.N. ( 2001 ). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya dan PPS UPI.

Suparno Paul. ( 1997 ). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Undang – Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Jogjakarta : Media Wacana Prees.

Wiriaatmadja Rochiati. ( 2002 ). Pendidikan Sejarah Di Indonesia. Bandung : Historia Utama Prees.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP